Iman di Tengah Masalah

Keluaran 5:1-23

Iman kepada Tuhan itu tidak mengecilkan atau mengentengkan masalah, tidak juga menyangkal bahwa memang ada masalah besar. Iman kepada Tuhan itu menerima dengan apa adanya besar atau beratnya masalah yang dihadapi–fully understand and accept the seriousness of the problem. Tetapi, kemudian iman itu membawa orang untuk kembali kepada Tuhan dan melihat bahwa Tuhan lebih besar daripada masalah apapun!

Rancangan dan cara kerja Tuhan bukanlah rencana dan cara kerja manusia. Tuhan punya cara dan proses untuk menggenapi janjiNya, yang tidak dipahami oleh manusia. Ketika apa yang terjadi justru berbeda atau bertolak belakang dengan apa yang dipikirkan manusia, respon manusia biasanya seperti respon Musa: “Tuhan, mengapakah Kauperlakukan umat ini begitu bengis? Mengapa pula aku yang Kauutus? Sebab sejak aku pergi menghadap Firaun untuk berbicara atas nama-Mu, dengan jahat diperlakukannya umat ini, dan Engkau tidak melepaskan umat-Mu sama sekali.” (22-23).

Tetapi, Tuhan sudah menyatakan kepada Musa bahwa hati Firaun akan keras–jadi, mestinya Musa tidak perlu terlalu kaget dengan reaksi negatif dari Firaun atas permintaanNya. Namun, toh secara manusiawi Musa tetap tertekan dengan apa yang terjadi di hadapannya. Apalagi kemudian orang Israel menyalahkan Musa, menuduhnya telah membusukkan nama mereka, sehingga penderitaan mereka bertambah berat. Sekalipun tuduhan para mandor itu tidak benar, namun faktanya tetap sama saja.

Respons Musa adalah: datang kepada Tuhan, dengan jujur mengatakan kesesakan hatinya karena ketaatannya ternyata tidak berbuah hasil seperti yang dibayangkannya. Musa dengan jujur memprotes dan mengeluh dan mengugat Tuhan. Musa justru sedang menunjukkan imannya kepada Tuhan–kembali kepada Tuhan untuk mengeluh dan menggugat! Iman yang jujur, iman yang tidak jaim, seperti iman anak kecil kepada bapanya.

Masalah saya adalah: (1) cenderung mengecilkan/mengentengkan masalah yang besar; tidak memikirkan dengan serius, tetapi cenderung menggampangkan; (2) biasa menyangkal kondisi yang buruk, berusaha melupakan atau menyembunyikan atau tidak mau memikirkan atau menghadapinya; (3) menghibur diri (yang sebenarnya adalah bentuk penyangkalan masalah) dengan menjadikan masalah itu bahan guyonan.

Yang seharusnya saya lakukan adalah: dengan mata yang terbuka dan realistis melihat masalah yang ada–seberapa parah dan berat sebenarnya masalah itu, seberapa berat sebenarnya beban yang harus ditanggung, seberapa berat sebenarnya proses yang harus dilalui! Dan membawanya kepada Tuhan, meletakkannya di bawah kaki takhta Tuhan Yang Mahakuasa, Tuhan yang sudah menjanjikan kelepasan, Tuhan Yang Besar! Dan berharap kepada pertolonganNya sesuai dengan jannjiNya yang sudah diberikan.

Views: 7

This entry was posted in Keluaran, Perjanjian Lama, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *