Sabat yang Baru

Lukas 6:1-11

Tuhan Yesus dengan sengaja melanggar tradisi Yahudi tentang Hari Sabat. Dua kali tindakan ini dilakukan di hadapan orang-orang Farisi dan Ahli Taurat yang sedang mengamati Dia untuk mencari-cari kesalahan. Tuhan Yesus ingin menunjukkan bahwa Ia–Allah Anak–memiliki otoritas di atas aturan yang dibuat-Nya dan bahwa aturan Allah–dalam hal ini Hari Sabat–dibuat untuk kebaikan umat, dan bukannya untuk membebani mereka.

Ketika orang Farisi mengkritik karena Tuhan Yesus membiarkan murid-murid-Nya melakukan apa yang dilarang oleh tradisi Yahudi, Ia menjawab dengan dua cara: (1) mengutip kisah Perjanjian Lama, di mana Daud melanggar aturan Taurat dengan memakan roti sajian untuk para imam, namun tidak dipersalahkan; (2) menyatakan bahwa Diri-Nya adalah Tuhan atas Hari Sabat.

Tuhan Yesus memiliki otoritas atas hukum yang dibuat-Nya. Ia yang berhak untuk “menafsirkan” hukum-nya. Manusia harus menundukkan diri di bawah otoritas-Nya, dan tidak bisa berpegang kepada penafsiran/pemahaman mereka sendiri atau tradisi yang selama ini ada tentang hukum-hukum Allah.

Orang percaya harus memiliki kerendahan hati untuk mengakui bahwa pemahamannya sendiri tidak akan pernah bisa menangkap kebenaran Firman Tuhan yang sejati. Terlalu banyak faktor (prasangka pribadi, ajaran lingkungan, atau tradisi) yang bisa mempengaruhi seseorang dalam menafsirkan Firman Tuhan. Orang percaya harus bergantung total kepada Roh Kudus agar bisa memahami Firman Tuhan, dan harus siap untuk tunduk 100% kepada pernyataan Roh Kudus–sekalipun itu bertentangan dengan keyakinan yang selama ini dimiliki atau tradisi yang berlaku di masyarakat atau gereja.

Pada kesempatan berikutnya, Tuhan Yesus sengaja “menantang” orang-orang Farisi dan Ahli Taurat yang sedang mengamati tindakan-Nya, dengan cara menyembuhkan seseorang pada Hari Sabat di rumah ibadat. Tuhan Yesus menunjukkan bahwa Hari Sabat itu dibuat untuk kebaikan manusia, bukan untuk membebani dan membelenggu. Tujuan hukum Tuhan adalah: keselamatan dan kebaikan manusia. Ketika pemahaman/penafsiran hukum Tuhan itu justru membebani bahkan menghalangi manusia untuk memperoleh keselamatan dan kebaikan, maka pemahaman/penafsiran itu harus dirubah!

Orang percaya harus terus-menerus mengevaluasi pemahaman/penafsirannya akan Firman Tuhan. Apakah penerapan dari pemahaman itu mendatangkan keselamatan dan kebaikan? Apakah penerapan itu benar-benar menjadi sarana untuk mengasihi jiwa manusia? Aturan dibuat untuk manusia, dan bukan sebaliknya. Terapkan aturan dalam rangka untuk mendatangkan kebaikan, berkat, dan keselamatan bagi orang lain. Bukan semata-mata “menegakkan” aturan tanpa hati yang berbelas kasihan.

Views: 7

This entry was posted in Lukas, Perjanjian Baru, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *