Pentahiran

Lukas 5:12-26

Kusta–bagi orang Yahudi di jaman Tuhan Yesus–bukan hanya masalah fisik, tetapi lebih daripada itu: masalah psikologis, sosial, dan spiritual. Kusta merusak tubuh orang–kasus kusta yang parah bisa membuat anggota tubuh penderitanya mretheli. Karena menular, kusta membuat orang harus disingkirkan dari pergaulan masyarakat–termasuk dari relasi dengan keluarganya sendiri. Kusta menajiskan orang, sehingga ia tidak boleh masuk ke tempat ibadah. Orang yang terkena kusta dipandang sebagai orang yang sudah mati. Kusta membawa orang kepada keterbuangan yang total.

Penderita kusta ini menyadari betul keadaannya. Ia penderita kusta yang parah; tubuhnya “penuh dengan kusta” (1:12). Dan ia ingin mengalami pentahiran dari penyakit kustanya. Namun, bagaimana ia bisa disembuhkan? Dalam masa itu, penyakitnya adalah penyakit terminal. Hanya bisa berharap kepada keajaiban, sebab belum ada terapi untuk menyembuhkannya. Apakah hidupnya akan terkutuk sampai selamanya?

Melihat Tuhan Yesus datang ke kotanya, penderita kusta itu memberanikan diri untuk datang, tersungkur, dan memohon agar ditahirkan. Ia pasti sudah pernah mendengar berita tentang Tuhan Yesus yang berkuasa menyembuhkan penyakit, mengusir setan, dan melakukan mujizat. Dan hari itu, Tuhan Yesus datang ke kotanya. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan langka ini. Maka, ia datang kepada Tuhan. Dan imannya tidak sia-sia. Tuhan menyentuhnya dan melenyapkan penyakit kustanya.

Iman orang itu nampak dari permohonannya kepada Tuhan. Pertama, ia percaya bahwa Tuhan Yesus memiliki kuasa untuk menyembuhkannya. Kedua, ia menyadari bahwa hanya belas kasihan dan perkenan Tuhan yang diperlukannya; ia tidak bisa memaksa/mengharuskan Tuhan untuk bekerja–ia hanya bisa berharap kepada kemurahan Tuhan saja.

Betapa besar kasih dan kemurahan Tuhan Yesus kepada orang itu. Tidak hanya Ia bersedia untuk menyembuhkannya, bahkan Tuhan Yesus mengulurkan tangan dan menyentuh tubuh yang penuh kusta itu. Dalam tradisi Yahudi, seharusnya Tuhan Yesus menjadi ikut najis karena menyentuh tubuh berpenyakit kusta; namun, yang terjadi adalah: justru penyakit kustanya yang menjadi lenyap. Tuhan tidak bisa dicemari; justru Ia mentahirkan kecemaran yang ada.

Warren Wiersbe menganalogikan kusta dengan dosa, karena sifatnya yang menular, merusak hidup, merusak relasi dengan sesama, dan membuat orang terasing dari hubungan dengan Tuhan. Hanya karya Tuhan Yesus yang bisa mentahirkan orang dari dosa. Dan kedatangan-Nya kepada manusia adalah untuk menyelamatkan mereka dari dosa. Pertanyaannya: apakah manusia percaya dan mau datang kepada Dia untuk memperoleh pentahiran?

Views: 7

This entry was posted in Lukas, Perjanjian Baru, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *