Keseimbangan hidup: doktrin dan adat kebiasaan

1 Korintus 11:1-16

Menjaga keseimbangan antara prinsip/doktrin dengan aplikasinya secara kontekstual memerlukan pengertian akan kebenaran Firman, pemahaman akan konteks sosial-budaya yang ada, dan hikmat untuk mengintegrasikan keduanya.  Tuhan Yesus–sebagai Anak Allah–berada di atas segala hukum, norma, adat, dan kebiasaan; namun ketika Ia hadir di bumi, Ia menyesuaikan cara hidup-Nya dengan masyarakat di mana Ia tinggal.

Prinsip kebenaran yang sedang disampaikan oleh Paulus adalah: adanya “struktur” otoritas di dalam hidup jemaat, dan jemaat harus menghormati dan tunduk kepada struktur itu: laki-laki/suami sebagai kepala atas perempuan/istri. Doktrin ini–dan doktrin yang lain–harus ditaati secara prinsip, dengan aplikasi yang kontekstual dengan kondisi masyarakat dan perkembangan jaman.

Yang kedua, Paulus mengacu kepada adat/kebiasaan/cara hidup yang ada di masyarakat di mana jemaat tinggal: terkait dengan apa yang dipandang terhormat dan apa yang dinilai hina. Jemaat harus mempertimbangkan itu, supaya cara hidup mereka–sekalipun mereka bebas secara doktrinal–tidak menjadi batu sandungan bagi masyarakat sekitarnya, dan dapat mencemarkan nama baik jemaat secara pribadi atau sebagai persekutuan.

Secara khusus di dalam ibadah bersama, seorang anak Allah harus menundukkan diri kepada tata-cara ibadah di mana ia menjadi anggota jemaat. Benar, tata cara itu diformulasikan oleh manusia, benar bahwa secara prinsip seseorang bebas di dalam mengkespresikan penyembahannya kepada Tuhan; namun, tanpa penundukan diri kepada tata cara yang ada, ia akan menjadi batu sandungan, ia akan membawa kekacauan, dan akhirnya jemaat serta kesaksian jemaat yang akan menjadi korban.

Tolonglah saya agar memiliki hikmat untuk mampu mengaplikasikan kebenaran Illahi decara integratif dengan konteks di mana Engkau telah menempatkan saya untuk tinggal dan bersaksi; agar saya tetap kudus, tidak menjadi batu sandungan, menjadi berkat bagi orang lain, dan memuliakan Engkau.

Views: 7

This entry was posted in 1 Korintus, Perjanjian Baru, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *