Keseimbangan hidup: keyakinan dan tenggang rasa

1 Korintus 10:23-33

Paulus menggunakan 3 kriteria untuk menentukan apakah satu hal/aktivitas–sehalal apapun itu–layak untuk dikerjakan oleh orang percaya: apakah ada manfaatnya, apakah membangun dan mengedifikasi. Keputusan atas pilihan yang harus diambil tidak lagi sekedar isu halal/haram (benar/dosa; legal formal), tapi lebih daripada itu.

Paulus bicara dalam konteks mengkonsumsi daging di rumah sendiri (urusan pribadi): tidak usah mempertanyakan/memeriksa apakah daging itu halal atau tidak! Karena semua isi dunia ini milik Tuhan; dan karena bukan makanan yang menajiskan, namun hati. Dalam kasus mengkonsumsi daging (yang sudah dipersembahkan kepada berhala) dalam resepsi, di mana ada orang lain yang hadir, maka dasar pertimbangannya adalah melayani orang lain: jangan sampai menjadi batu sandungan bagi orang lain (yang lebih kurang dewasa imannya).

Saya memiliki kebebasan untuk bertindak, berperilaku, dan mengambil sikap. Namun, saya tidak layak untuk bersikap egois di dalam menggunakan kebebasan saya. Saya bisa sebebas-bebasnya ketika ada di lingkungan hidup saya pribadi; namun ketika berada dalam relasi dengan orang lain, maka saya harus menyerahkan kebebasan itu untuk melayani/menjaga hati/pikiran/perasaan orang lain. Tujuannya: agar tidak menjadi sandungan dan hambatan bagi orang lain untuk mengenal Kristus!

Saya mengakui bahwa saya memiliki prinsip dan sikap hidup yang cenderung tidak mempedulikan apa kata/pendapat orang lain; karena saya merasa tahu betul dasar keyakinan/doktrin dari setiap tindakan saya. Tetapi sikap ini tidak benar, karena dengan demikian saya tidak melayani orang lain dan justru menjadi batu sandungan: dengan demikian, saya tidak memuliakan Allah.

Selama “menjaga perasaan/hati” orang itu tidak melanggar firman Tuhan, mengapa saya tidak mau melayani orang lain dengan melakukannya? Selama ada di dalam kekuasaan saya, dan selama tidak melanggar prinsip kebenaran, mengapa tidak?

Views: 7

This entry was posted in 1 Korintus, Perjanjian Baru, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *