Lukas 15:11-32
Tuhan Yesus mengajarkan tiga perumpamaan untuk menjawab kritik orang Farisi dan ahli Taurat karena Ia menerima para pemungut cukai dan orang-orang berdosa untuk datang mendekat, bahkan makan bersama mereka. Ketiga ilustrasi itu bertujuan menunjukkan alasan sikap-Nya kepada orang berdosa: karena itulah sikap hati Allah kepada orang-orang berdosa. Pada ilustrasi ketiga, Tuhan Yesus menampilkan kisah tentang tiga tokoh utama: sang bapa, anak sulung, dan anak bungsu.
Anak bungsu jelas mewakili kelompok orang berdosa: ia memberontak kepada bapanya, pergi ke negeri yang jauh–jauh dari rumah bapanya, dan hidup mengumbar hawa nafsu (wild living). Akibatnya, ia jatuh miskin dan mengalami penderitaan. Pada titik itu, ia sadar bahwa hidupnya celaka, dan ia ingin kembali ke rumah bapanya–bukan sebagai anak, tetapi sebagai budak saja (ayat 12-19). Benar dia orang berdosa, tetapi ia menyadari dosanya, dan mau datang kembali kepada Allah. Seperti orang-orang berdosa yang datang kepada Tuhan Yesus.
Di luar dugaan anak bungsu itu, kasih bapanya tidak berubah kepadanya–bahkan setelah pemberontakan yang ia kerjakan (ayat 20-23). Bapanya tidak mau menerima dia sebagai budak–tetapi justru berlari-lari menyambut dan memeluk anak itu, dan mengembalikan kedudukannya sebagai anak–sekalipun ia sudah tidak layak, sebab ia telah mendurhakai bapanya. Bapa tidak melakukan diam-diam, tetapi mengajak seluruh isi rumahnya untuk berpesta menyambut kembalinya anak itu: “Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali” (ayat 24).
Tokoh ketiga, si anak sulung, sangat jelas menunjuk kepada orang Farisi dan ahli Taurat. Responsnya bertolak belakang dengan bapanya; hatinya berkebalikan dengan hati bapanya. Ia marah karena anak bungsu–yang menurutnya tidak layak untuk mendapat kemurahan karea dosa-dosanya–tetap dikasihi dan diterima oleh bapa; bahkan dikembalikan ke kedudukan semula–sejajar dengan dirinya sebagai anak. Ia merasa bapanya tidak adil: ia yang sudah mentaati bapanya, tidak pernah diberi kesenangan oleh bapanya–tetapi untuk adiknya yang durhaka, bapanya memngadakan pesta besar untuk menyambutnya (ayat 25-30).
Kembali hati bapa itu digambarkan di dalam nasihatnya kepada si sulung: “Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.” (ayat 32). Tuhan Yesus menunjukkan bahwa hati orang Farisi dan ahli Taurat itu bertentangan dengan hati Allah; mereka merasa lebih layak karena merasa sudah taat, dan mereka tidak mau disamakan dengan orang-orang berdosa di hadapan Tuhan; akibatnya mereka merendahkan dan menutup diri terhadap orang-orang berdosa, memandang orang-orang berdosa itu tidak pantas menerima kemurahan Tuhan.
Hati bapa itu juga menunjukkan kesabaran dan kasihnya kepada si sulung dari tindakannya untuk pergi keluar dari ruang pesta untuk berbicara dengan dia. Bapa itu mau mendengarkan kekecewaan dan kemarahan anak sulungnya yang tidak rela kalau adiknya yang sudah begitu jahat itu diberi kemurahan oleh bapanya. Selain mendengarkan isi hati anak sulungnya itu, sang bapa juga memberitahu dia dengan lembut tentang pandangannya kepada anak bungsu: (1) sejahat apapaun dia, dia masih saudara, maka bapa itu menyebut dengan kata “adikmu”; (2) sejahat apapun dia–bahkan bisa diumpamakan dia sudah mati, namun dia sekarang sudah datang untuk bertobat–dan itu harus membuat bersukacita.
Penerapan:
Meminta hati yang penuh kasih dan pengampunan–bukan saja kepada orang berdosa, tetapi juga kepada orang-orang “benar” yang menolak orang berdosa: mau terbuka mendengarkan kekecewaan mereka, tidak menghakimi atau menyalahkan, tetapi mendoakan agar Tuhan menolongnya untuk memberikan kasih dan pengampunan.
Views: 20