Kekudusan Yang Substantial, Bukan Formalitas

Ulangan 24:1-5, 7-9, 16

Kekudusan hidup yang dikehendaki TUHAN di dalam umat-Nya itu adalah kekudusan yang sifatnya hakiki atau esensial atau substansial, dengan acuan standar kekudusan TUHAN. Bukan hanya masalah memenuhi tuntutan ritual atau memenuhi syarat formal atau administrasi hukum atau adat komunitas. Bukan masalah: melanggar aturan manusia atau memenuhi persyaratan yang berlaku dalam masyarakat–tetapi kepada nilai dan standar kekudusan sesuai firman TUHAN.

Ayat 1-4. TUHAN menghendaki kekudusan pernikahan–bukan hanya harus memenuhi ketentuan secara ritual atau formalitas hukum atau adat, tetapi kekudusan yang lebih dalam terkait relasi suami dan istri. Seorang suami yang sudah menceraikan istrinya, dan kemudian perempuan itu telah diperistri oleh orang lain, maka suami yang pertama tidak boleh lagi mengambil perempuan itu sebagai istrinya–sekalipun perempuan itu sudah menjadi janda karena dicerai atau ditinggal mati suami yang kedua. Tindakan itu adalah kekejian di hadapan TUHAN, dan perbuatan adalah dosa.

Ayat 5. TUHAN menghargai pernikahan, dan memandang penting relasi suami dan istri; lebih penting daripada urusan publik. Ketika seorang baru menikah, maka ia tidak boleh masuk ke dalam wajib militer atau diberi tugas tertentu–yang membuatnya terpisah dari istrinya. Suami itu harus dibebaskan dari tugas apapun selama satu tahun, supaya ia bisa menyenangkan hati istrinya.

Ayat 7. TUHAN menghargai jiwa manusia dan akan menghukum orang yang merampas hidup sesamanya. Karena itu, kalau ada orang yang menculik seseorang, dan berlaku kejam kepadanya atau menjualnya, maka penculik iu harus dihukum mati. Itu adalah kejahatan di hadapan TUHAN, dan ancamannya adalah hukuman mati; sebab sekalipun penculik itu tidak menghilangkan nyawa orang lain, tetapi ia telah merampas hidup sesamanya.

Ayat 8-9. TUHAN menghendaki kekudusan dengan tidak memandang bulu atau memandang muka. Salah satu bentuk menjaga kekudusan adalah: taat dengan teliti kepada prosedur yang ditetapkan oleh TUHAN ketika muncul penyakit kusta. Ritual untuk menghadapi penyakit kusta harus dilakukan dengan taat, tanpa pandang bulu. Sekalipun orang yang terkena kusta adalah orang terpandang atau seorang tokoh/pemimpin–seperti Miryam, maka umat TUHAN tetap harus mengikuti ritual yang sudah dietapkan oleh TUHAN. Tidak boleh ada pengecualian berdasarkan status seseorang.

Ayat 16. TUHAN adalah Allah yang adil, yang tidak menimpakan hukuman kepada orang yang bersalah. Seorang ayah tidak boleh dihukum mati karena dosa anaknya, demikian pula anak tidak boleh dihukum mati karena dosa ayahnya. Setiap orang harus menanggung hukumannya sendiri-sendiri, sesuai dengan dosa yang dilakukannya sendiri. Dengan demikian, TUHAN melarang pembalasan kepada seluruh keluarga, ketika yang berdosa hanya satu orang.

Penerapan:
Menjaga kekudusan hidup dengan sungguh-sungguh sesuai standar firman Tuhan, tidak semata-mata memenuhi tuntutan aturan mansuia atau formalitas secara hukum atau adat; tetapi kepada esensi atau substansi kekudusan hidup yang dikehendaki oleh Tuhan.

Views: 12

This entry was posted in Perjanjian Lama, Refleksi, Ulangan. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *