Doa Dalam Pelarian

Mazmur 142:1-7

Daud dikejar oleh musuh-musuhnya, ditinggalkan oleh teman-temannya, dan sekarang ia sendirian di dalam sebuah gua. Di dalam ketakutan dan kesesakannya, Daud berseru kepada TUHAN: mengungkapkan susana hatinya, menceritakan situasi yang sedang dialaminya, dan meminta pertolongan/kelepasan dari TUHAN, sebab TUHAN-lah satu-satunya tempat perlindungan dan bagiannya.

Ayat 1-3. Daud berseru dengan nyaring kepada TUHAN. Bukan doa biasa, doa formalitas, doa hafalan–tetapi doa dengan penuh perasaan, luapan semua kesesakan yang ada di dalam hai, doa yang personal. Bagaimana dengan doamu kepada Tuhan? Sebuah formalitas atau ritual? Ataukah curahan seluruh isi hati dan emosimu kepada-Nya?

Ayat 4-6. Daud mengatakan dengan jujur apa yang dirasakannya: semangat yang lemah lesu, keluhan karena kesesakannnya, ketakutan/kekuatiran karena ancaman bahaya dari musuh, kesepian dan mungkin kekecewaannya karena tidak ada teman yang menghiraukan atau mencarinya. Daud menyatakan, bahwa pada akhirna memang hanya TUHAN saja yang menjadi bagiannya, yang tidak akan pernah berubah. Kondisi, sahabat, bahkan keluarga bisa berubah dan pergi–tetapi Tuhan itu tetap menjadi tempat perlindungan untuk selama-lamanya.

Ayat 7-8. Permohonan Daud kepada TUHAN, agar TUHAN melepaskannya dari orang-orang yang mengejarnya, mereka terlalu kuat bagi Daud. Daud memohon agar TUHAN mengeluarkannya dari penjara (gua) di mana ia terkungkung, bersembunyi, tidak bisa melakukan apa-apa kecuali berdiam dan menunggu. Supaya Daud memuji nama TUHAN dan supaya orang-orang benar melihat pembelaan TUHAN dan kebaikan TUHAN kepadanya.

Penerapan:
(1) Menyadari bahwa hanya Tuhan yang tidak akan berubah, yang akan selalu menjadi tempat perlindungan untuk selama-lamanya. Yang penting masih bisa berlindung kepada Tuhan, sekalipun semua orang, bahkan keluarga tidak lagi bisa menjadi tempat berteduh.
(2) Berdoa dengan jujur dan sepenuh hati, berdoa sebagai ungkapan isi hati, pikiran, dan perasaan yang sesungguhnya ada.

Views: 5

This entry was posted in Mazmur, Perjanjian Lama, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *