Sang Pengkhianat

Yohanes 13:18-30

Yudas Iskariot adalah “rasul” yang menyerahkan Tuhan Yesus kepada para pemuka agama. Ia merupakan bendahara yang memegang keuangan, berarti selama ini ia menunjukkan kesan hidup yang baik dan dapat dipercaya oleh murid-murid yang lain. Sampai saat-saat terakhir Yudas bersama mereka, tidak ada satupun murid-murid yang mengira bahwa Yudas akan berkhianat.

Tuhan Yesus sudah tahu bahwa Yudas yang akan menyerahkan Diri-Nya. Tuhan Yesus sudah tahu bahwa Yudas, sekalipun tekun mengikut Dia, dan terpilih menjadi salah satu rasul, tidak benar-benar percaya kepada-Nya (Yoh 6:64, 70). Tuhan Yesus tidak pernah membuka kedok Yudas. Hanya pada malam terakhir itu, Ia memberi petunjuk yang jelas hanya kepada Yohanes, sementara murid-murid yang lain tidak ada yang diberitahu. Dalam catatan Matius (26:25), setelah Tuhan Yesus menyatakan bahwa salah seorang dari mereka adalah penghianat, Yudas ikut bertanya: “Bukan aku, ya Rabi?”, padahal ia sudah membuat kesepakatan dengan imam-imam kepala untuk menyerahkan Tuhan Yesus (Mat. 26:14-16).

Kalau Tuhan Yesus sudah tahu bahwa Yudas tidak sungguh-sungguh percaya kepada-Nya dan bahkan akan menyerahkan-Nya, mengapa Tuhan Yesus tetap membiarkan Yudas bersama-sama mereka? Mengapa Tuhan Yesus tidak membuka siapa Yudas kepada murid-murid yang lain? Perlakuan Tuhan Yesus kepada Yudas tidak berbeda dengan kepada murid-murid yang lain.

Apa yang telah dilakukan oleh Tuhan Yesus untuk Yudas? Memilih dia untuk menjadi murid yang mendapat latihan khusus, mengijinkan Yudas mendengar pengajaran-pengajaran khusus, dan memiliki pengalaman-pengalaman ajaib yang tidak dialami orang lain. Sampai saat-saat terkahir, Tuhan Yesus menunjukkan kasih-Nya kepada Yudas: memberi peringatan bahwa Ia sudah tahu akan potensi pengkhianatan Yudas, menempatkan Yudas duduk di sebelah-Nya, dan memberikan roti yang dicelup–tanda kasih dan persahabatan.

Apa yang dipikirkan Yudas? Apa yang berkecamuk di dalam hatinya? Sebagai orang yang memang punya niat untuk berkhianat, bagaimana perasaannya ketika Tuhan Yesus membasuh kakinya, menyampaikan kata-kata peringatan, dan memberikan roti itu kepadanya? Apakah justru itu membuat dia merasa tidak ada lagi jalan mundur–sudah kepalang basah, sudah ketahuan, maka sekalian dilanjutkan? Adakah dorongan dalam hati untuk berhenti dan bertobat?

Beberapa kali dalam Alkitab disebutkan peran Iblis dalam pengkhianatan Yudas. Iblis sudah membisikan rencana jahat di dalam hati Yudas (Yoh 13:2), dan kemudian Iblis merasuki Yudas (Yoh 13:27)–menguasai Yudas sepenuhnya. Matius (27:3-5) mencatat bahwa setelah Tuhan Yesus ditangkap, Yudas menyadari tindakannya dan menyesal. Penyesalannya itu membuatnya memutuskan untuk menggantung diri.

Mengapa Yudas sampai kepada titik yang sangat tragis? Pertama, karena ia tidak benar-benar percaya kepada Tuhan Yesus–belum “dimandikan”, belum lahir baru. Kedua, ia tidak bertobat dan mencari pertolongan Tuhan ketika benih-benih kejahatan itu muncul. Dosa ketidakjujuran, pencurian, dilakukannya terus, itu menjadi makin dalam dan makin besar, sehingga sampai kepada pengkhianatan.

Saya memiliki potensi yang sama untuk melalui jalan yang ditempuh oleh Yudas. Tidak sungguh-sungguh percaya dan tunduk kepada Tuhan. Membiarkan dan menikmati dosa-dosa yang makin lama makin besar. Membuat hati nurani semakin tidak sensitif kepada dosa dan rasa bersalah. Apa yang harus dilakukan? (1) mengakui dosa; (2) memohon pertolongan Tuhan agar dibebaskan dari jerat dosa.

Views: 7

This entry was posted in Perjanjian Baru, Refleksi, Yohanes. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *