Zakharia 7:1-14
Ritual atau tanda peringatan itu sesuatu yang baik–Tuhan sendiri memerintahkan agar umat-Nya melakukan Hari Raya dan membuat/membangun tugu/tempat peringatan, untuk menolong umat-Nya mengingat dan merenungkan perisiwa di masa lalu dan pekerjaan Tuhan yang telah terjadi. Supaya mereka menjaga hati yang mengingat Tuhan, yang mengasihi Tuhan, yang menyembah Tuhan, dan hati yang taat kepada Tuhan. Ketika ritual/peringatan itu sudah tidak enghasilkan hati yang seperti itu, maka ritual itu sudah tidak punya makna, bahkan menjadi kejijikan (beban) di hadapan Tuhan (Yes. 1:10-17).
Penduduk Betel mengutus beberapa orang untuk melunakkan hati TUHAN. Dalam terjemahan lain: mereka datang untuk mencari perkenanan TUHAN (to seek the favor of the LORD)–ayat 1-2. Ini sikap yang benar dalam meghadap Tuhan, bukan menuntut, bukan meminta hak, bukan mengatur, melainkan datang dengan rendah hati memohon perkenan/kemurahan Tuhan–kesadaran akan kebergantungan kepada Tuhan dan kedaulatan Tuhan atas umat-Nya.
Mereka bertanya kepada para mam dan para nabi: apakah masih harus melakukan tradisi perkabungan dan berpuasa pada bulan kelima (ayat 3). Tradisi berkabung dan berpuasa pada bulan ke-5 ini adalah untuk memperingati kehancuran kota Yerusalem dan hancurnya Bait Allah oleh Nebukadnezar (2Raj. 25:8-10). Pertanyaan yang masuk akal, karena sekarang umat TUHAN sudah pulang dari pembuangan dan sedang dalam proses membangun Bait Allah kembali.
Jawab TUHAN kepada mereka: Pertama, memangnya selama ini mereka berkabung dan berpuasa untuk TUHAN? Di mata TUHAN, mereka hanya mengerjakan ritual untuk diri sendiri, dan itu sudah dinyatakan oleh nabi-nabi saat Yerusalem masih makmur dan jaya–ayat 4-7. Tuhan tidak berkenan kepada ritual yang dilakukan untuk formalitas saja, tetapi sebenarnya hati umat tidak tertuju kepada Tuhan. Ritual yang sebenarnya hanya untuk memuaskan diri sendiri–untuk memelihara tradisi, untuk mengatasi rasa bersalah, untuk sekedar memenuhi kewajiban.
Kedua, TUHAN memerintahkan agar melakukan hidup yang berkenan kepada-Nya: melakukan keadilan, menerapkan kemurahan hati dan belas kasihan kepada orang lain, tidak menekan mereka yang lemah (janda, anak yatim, orang asing, orang miskin), dan tidak berniat/merancang kejahatan untuk orang lain–ayat 8-10. Tetapi, leluhur umat TUHAN tidak mau mendengar dan tidak mau taat; mereka mengeraskan hati dan menolak firman TUHAN, sehingga TUHAN menjatuhkan hukuman dan menyerakkan mereka ke bangsa-bangsa dan memnghancurkan tanah mereka (ayat 11-14).
Tuhan menekankan: yang penting itu bukan masalah melakukan ritual/tradisi atau tidak, tetapi mengerti apa yang menyebabkan semua peristiwa–yang diperingati dengan tradisi/ritual itu–terjadi. Mengingat bahwa dosa umat TUHAN dan kekerasan hati mereka yang tidak mau bertobat itulah yang membuat TUHAN murka sehingga mendatangkan hukuman kehancuran–yang kemudian diperingati dengan ritual tertentu.
Ritual atau tanda peringatan itu sesuatu yang baik–Tuhan sendiri memerintahkan agar umat-Nya melakukan Hari Raya dan membuat/membangun tugu/tempat peringatan, untuk menolong umat-Nya mengingat dan merenungkan perisiwa di masa lalu dan pekerjaan Tuhan yang telah terjadi. Supaya mereka menjaga hati yang mengingat Tuhan, yang mengasihi Tuhan, yang menyembah Tuhan, dan hati yang taat kepada Tuhan. Ketika ritual/peringatan itu sudah tidak enghasilkan hati yang seperti itu, maka ritual itu sudah tidak punya makna, bahkan menjadi kejijikan (beban) di hadapan Tuhan (Yes. 1:10-17).
Penerapan:
(1) Berdoa, memohon kepada Tuhan agar menolong saya untuk melakukan ibadah saya dengan kesungguhan–tidak sekedar formalitas memenuhi kewajiban; tetapi benar-benar mencari Tuhan dan menyembah Tuhan.
(2) Menerapkan ibadah saya dalam tindakan yang melakukan kebenaran dan keadilan, serta melayani/mengasihi dan bersikap murah hati kepada orang lain.
Views: 21