Rut 2:1-3
Pasal 1 merupakan backround, untuk memberi konteks pada kisah utama yang dialami Naomi dan Rut. Latar belakang bagaimana kedua perempuan yang sudah merasa tidak punya apa-apa itu–termasuk harapan masa depan akan mengalami kemurahan TUHAN. Pasal 1 buku ini berisi rentetan kemalangan: kelaparan, pindah ke tanah asing, ditinggalkan orang-orang tercinta, dan kehilangan ada masa depan karena tidak ada keturunan. Tapi, sama-sama tidak ada pengharapan (dalam pikiran Naomi), lebih baik hidup tanpa harapan di Tanah Perjanjian.
Karena di Tanah Perjanjian itu ada TUHAN yang telah mengikat perjanjian dengan umat-Nya untuk memelihara hidup mereka–sekalipun TUHAN tahu bahwa umat-Nya akan menista Dia dan mereka akan mengingkari perjanjian-Nya, namun TUHAN tetap setia; untuk menunjukkan bahwa Dialah TUHAN, Allah yang sejati (Ula. 8:7-10). Seburuk apapun keadaanmu, sesuram apapun prospek di depanmu–tetaplah di dalam TUHAN, itulah tempat teraman bagimu.
Naomi dan Rut sampai ke Betlehem pada awal masa menuai jelai (Rut. 1:22). Rut, perempuan Moab itu–sukunya disebutkan untuk kembali mengingatkan bahwa ia bukan umat TUHAN–berinisiatif untuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan mertuanya, Rut minta ijin Naomi untuk “pergi ke ladang memungut bulir-bulir jelai di belakang orang yang murah hati kepadaku” (ayat 2). Agaknya Rut mengenal praktik panen di Israel, di mana TUHAN memerintahkan agar ada sisa yang tertinggal bisa diambil oleh orang miskin dan orang asing (Ima. 19:9-10).
TUHAN yang penuh kemurahan memberikan berkat atas pertanian umat-Nya, sehingga mereka bisa panen; dan TUHAN memerintahkan agar umat-Nya juga berlaku murah hati kepada orang yang lebih tidak beruntung (orang miskin dan orang asing), dengan cara mengijinkan mereka memungut sisa-sisa bulir (remah-reman) yang terjatuh. Rut tidak berdiam diri menunggu belas kasihan itu datang, tetapi ia pergi dan bekerja–sekalipun ia juga sangat sadar bahwa upayanya ini tergantung kepada kemurahan orang lain. Keseimbangan antara bergantung pada kemurahan Tuhan dan kepada usaha/kerja keras.
Maka pergilah Rut–ia tidak kenal siapa-siapa sebab ia orang asing. Ia tidak tahu ladang ini milik siapa. Ia hanya mengandalkan belas kasihan orang. Mungkin itu adalah ladang pertama yang dijumpainya, di mana orang-orang sedang menyabit jelai. Kemungkinan untuk ditolak pasti ada: karena orang tidak mengenal dia. Tetapi, kemurahan TUHAN menyertainya–TUHAN yang Mahamurah, yang menjadi Bapa bagi anak yatim, orang miskin, dan orang asing–tidak membiarkan niat baik dan usahanya sia-sia: ia sampai di ladang yang memberi ijin untuk ikut memungut jelai.
Tanpa diketahuinya, tanpa direncanakan, di dalam pikiran Rut hanya berisi ia harus bekerja–pekerjaan apapun juga, termasuk pekerjana yang paling rendah bagi orang miskin dan orang asing–untuk menghidupi ibu mertuanya dan dirinya sendiri, “kebetulan ia berada di ladang milik Boas, yang berasal dari kaum Elimelekh” (ayat 3), yang pada ayat 1 dicatat bahwa Boas seorang yang kaya raya. Rut melangkahkan kaki, TUHAN yang mengarahkannya ke tempat yang tepat–tanpa Rut sendiri menyadarinya. Lakukan apa yang benar, apa yang harus dikerjakan–Tuhan akan mengarahkan dan mempimpin–dengan cara “kebetulan” ke tempat dan orang yang tepat.
Penerapan:
(1) Memuji Tuhan yang Mahamurah “yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Mat. 5:45).
(2) Berdoa meminta hati saya juga dipenuhi kemurahan dan belas kasihan kepada orang lain–sebab Tuhan sudah lebih dahulu mencurahkan belas kasihan dan kemurahan yang sangat besar atas hidup saya.
(3) Melakukan yang harus dilakukan–karena ketaatan dan pengertian akan tanggung jawab–dan menyerahkan kepada Tuhan kelanjutannya dan keberhasilannya, dengan keyakinan dan percaya bahwa Tuhan itu Allah yang Mahamurah dan penuh belas kasihan.
Views: 26