Rut 1:19-22
Orang bisa berpura-pura baik-baik, ketika sebenarnya ia sedang terpuruk. Demi menjaga kehormatan atau mempertahankan harga diri, ia bisa berbohong dan menutupi persoalannya dari orang lain. Tapi pintu pemulihan adalah pengakuan akan persoalan, supaya mendapat jalan pemecahan. Orang juga bisa memberi sejuta alasan atas peristiwa yang menimpanya: menyalahkan orang lain, diri sendiri, atau keadaan–tetapi, sesungguhnya yang diperlukan adalah pengertian bahwa TUHAN ada dibalik dan mengendalikan semua peristiwa.
Naomi dan Rut berjalan dari Moab ke Betlehem (ayat 19) –perjalanan yang cukup jauh jaraknya (sekitar 7-10 hari jalan kaki); kemungkinan mereka bersama dengan rombongan orang/pedagang–karena sangat berbahaya dua orang perempuan sendirian. Entah apa yang berkecamuk di benak Naomi–ia sudah pernah melewati jalan itu dengan arah yang berlawanan bersama suami dan dua anaknya laki-laki untuk mencari kesejahteraan; sekarang ia kembali melewatinya hanya bersama janda menantunya, tidak punya apa-apa: harta, keluarga, maupun harapan masa depan. Tapi, sekarang ia berjalan menuju Tanah Perjanjian TUHAN.
Ketika memasuki kota Betlehem, seluruh kota itu menjadi gempar (hum: to rouse, to roar, to confuse); kedatangannya menjadi sumber keheranan dan pertanyaan–dan mungkin gunjingan penduduk Betlehem (ayat 19). Perempuan-perempuan kota itu mengenali Naomi (yang minimal sudah 10 tahun pergi), sekalipun mereka ragu–karena bukankah Naomi dulu punya suami dan dua anak laki-laki; tapi sekarang sendirian hanya bersama perempuan muda tak dikenal (ayat 9).
Ketika ada yang menyapa: “Naomikah itu?”, Naomi berkata kepada mereka supaya jangan menyebut dia “Naomi” (yang artinya pleasant, menyenangkan), tetapi “Mara” (artinya bitter, pahit). Mengapa? Karena Naomi meyakini bahwa: “Yang Mahakuasa (El Shadday) telah melakukan banyak yang pahit kepadaku.” (ayat 20). Kepahitan itu berupa TUHAN memulangkan dia tengan tangan kosong, padahal dulu pergi dengan tangan penuh. Naomi menegaskan: “TUHAN telah naik saksi menentang aku dan Yang Mahakuasa telah mendatangkan malapetaka kepadaku.” (ayat 21).
Ada dua hal yang baik dari penyataan Naomi. Pertama, ia tidak menyembunyikan persoalannya; ia tidak berpura-pura sedang baik-baik saja; ia berani jujur mengatakan apa adanya kondisinya yang celaka. Walaupun secara obyektif, persoalan itu nampak jelas–suami dan dua anak laki-lakinya tidak ada bersamanya, Naomi masih bisa berbohong kalau dia mau. Tetapi, Naomi memilih untuk jujur menampilkan diri apa adanya: ia penuh kepahitan karena kehilangan semua miliknya yang berharga melalui malapetaka yang dialaminya.
Kedua, alasan yang diyakini Naomi atas semua penderitaannya adalah TUHAN. Naomi tidak menyalahkan suaminya, atau anak-anaknya, atau keadaan, atau yang lainnya. Tetapi, Naomi meyakini bahwa TUHAN ada di balik semua ini–sekalipun saat itu orientasinya hanya kepada masa lalu–apa yang telah TUHAN lakukan: melakukan hal yang pahit, menentang, dan mendatangkan malapetaka–tetapi Naomi menyadari bahwa semua persitiwa yang dialaminya itu ada di tangan TUHAN yang mengendalikan segala sesuatu. Dan itu berarti, Naomi berserah kepada TUHAN akan nasibnya selanjutnya.
Dan, iman Naomi itu seperti diamini oleh alam–bahwa di dalam TUHAN akan selalu ada harapan yang baik di masa depan. Dalam ayat 22 dicatat bahwa: “sampailah mereka ke Betlehem pada permulaan musim menuai jelai“. Kisah ini dimulai dengan kelaparan yang membuat Naomi dan keluarganya meninggalkan Tanah Perjanjian, dan ditutup dengan mulainya musim menulai jelai (gandum) yang berarti harapan/kepastian akan kelimpahan makanan. “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Yer. 29:11).
Penerapan:
Ketika mengalami persoalan, tidak hanya menyesali datau marah kepada diri sendiri atau orang lain atau keadaan; tetapi belajar untuk bertanya kepada Tuhan tentang rencana-Nya di balik persoalan itu; dan mempercayai bahwa Tuhan tahu dan mengendalikan semua kejadian dalam hidup saya, dan percaya bahwa Tuhan melakukan semua untuk mendatangkan kebaikan bagi saya (Roma 8:28).
Views: 14