Rut 1:1-5
Pada zaman para hakim, terjadi kelaparan di tanah Israel. Ada orang Betlehem bersama Elimelekh, memutuskan untuk pergi ke daerah Moab untuk menetap sementara sebagai orang asing–sementara tinggal di negeri asing sampai kelaparan di Israel reda. Elimelekh pergi bersama istrinya–Naomi dan dua anak laki-laki Mahlon dan Kilyon (ayat 1-2).
Betlehem artinya: “rumah roti/makanan”, tapi ironisnya di sana malah terjadi kelaparan. Mengapa? Pada masa para hakim, Israel terus menerus berbuat dosa menyembah berhala, sehingga mendatangkan murka TUHAN (Hak. 2:16-19). Salah satu bentuk murka TUHAN adalah kekeringan yang membuat kelaparan. Pada masa murka TUHAN atas dosa Israel itulah konteks kisah ini terjadi. Mungkin keluarga Elimelekh ini tidak menyembah berhala, tetapi karena bangsanya berbuat dosa, maka mereka terkena dampak murka TUHAN.
Menanggapi situasi sulit itu, Elimelekh memutuskan untuk meninggalkan Tanah Perjanjian dan pergi ke tanah asing–demi mempertahankan hidup, karena di sini ada kelaparan, sedangkan di sana ada makanan. Untuk sementara saja–nanti akan balik kembali (ayat 1). Bukannya tetap tekun untuk menunggu pemulihan TUHAN, mereka memilih jalan yang mudah: meninggalkan perjanjian TUHAN untuk tinggal bersama orang asing.
Orang percaya meninggalkan Tuhan untuk mengikuti tawaran dunia–karena mengikut Tuhan ternyata ada kesusahan dan tidak tercukupi kebutuhannya; sementara dunia menawarkan kesejahteraan, menawarkan pemenuhan kebutuhan; sehingga–dalam perhitungan mereka–nggak apa-apa mengikuti dunia, hanya untuk sementara, hanya demi mencukupi kebutuhan yang ada; nanti akan balik kembali kepada Tuhan! Cara berpikir yang pragmatis dan berbahaya, pemenuhan kebutuhan yang dicari, dan bukan relasi dengan Tuhan.
Apa yang direncanakan hanya sementara itu ternyata keterusan. Dalam ayat 1 ditulis “menetap di sana sebagai orang asing” (sojourn), tetapi di ayat 2, itu berubah menjadi “diamlah mereka di sana” (continued there). Semula hanya singgah, sekarang menjadi tinggal menetap. Lalu Elimelekh mati di tanah Moab, meninggalkan Naomi dan kedua anak laki-lakinya. Frasa yang digunakan: “sehingga perempuan itu tertinggal” (saar: was left, tersisa)–ayat 3.
Sepeninggal suaminya, Naomi dan kedua anaknya tidak kembali ke Israel, tetapi tetap tinggal di Moab–kemungkinan karena kelaparan masih terjadi di Israel dan kehidupan di Moab lebih sejahtera bagi mereka. Kemudian kedua anak laki-laki itu mengambil istri orang Moab (ayat 4). Dan setelah menikah, mereka masih tinggal sekitar 10 tahun di tanah Moab.
Semula hanya berencana singgah sementara, menjadi tinggal menetap, kemudian mengikat pernikahan dengan perempuan Moab; pernikahan ini tentu saja semakin memperdalam ikatan keluarga Naomi dengan bangsa Moab. Semakin mengurangi kemungkinan bagi mereka untuk pulang kembali ke Israel. Lebih dari 10 tahun mereka sudah meninggalkan Tanah Perjanjian; apakah mereka masih akan pulang?
Peristiwa berikutnya lebih menyedihkan: kedua anak laki-laki Naomi, Mahlon dan Kilyon, mati. Sehingga “perempuan itu kehilangan kedua anaknya dan suaminya” (ayat 5). Tidak diketahui penyebab kematian kedua anak laki-laki itu, dan apakah waktu kejadiannya berdekatan. Tapi yang jelas, mereka mati sebelum bisa memiliki keturunan, dan kedua istrinya masih berusia muda sehingga masih bisa menikah lagi (ayat 9).
Tragis apa yang dialami Naomi. Ia sekeluarga meninggalkan Tanah perjanjian untuk memperpanjang umur mereka, tapi di tanah asing mereka justru kehilangan nyawa mereka. Dan yang mati adalah sosok laki-laki di rumah, sosok yang menjadi pelindung dan sumber kehidupan. Perempuan yang ditinggal suami atau anak laki-laki kehilangan tempat untuk bersandar dan berlindung.
TUHAN, di dalam rencana-Nya yang takterpahami, mengijinkan Naomi kehilangan segala-galanya. TUHAN membiarkan kondisi yang semakin buruk dan semakin terpuruk bagi Naomi: kelaparan, tinggal di tanah asing, kehilangan suami, kehilangan anak-anak laki-laki, dan tidak memiliki keturunan. Dan itu diawali dari keputusan untuk “singgah sementara” di negeri asing demi memenuhi kebutuhan.
Penerapan:
(1) Hati-hati, jangan menuruti tawaran dunia/dosa; jangan berpikir untuk “singgah sementara” dalam keduniawian dan nanti akan kembali lagi kepada Tuhan. Karena ikatan dunia itu tidak pernah sementara: sekali mencoba, akan diikat dan terjerumus makin dalam, sehingga makin sulit untuk melepaskan diri.
(2) Apapun masalah yang sat ini kauhadapi, tetap tekunlah tinggal di dalam Tuhan, dan berseru kepada-Nya memohon pertolongan–jangan berpaling mencari sumber penyelesaian di luar Tuhan.
Views: 21