Hikmat sejati

1 Raja-raja 3:5-14

Hikmat yang sejati: “hati yang faham menimbang perkara … dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat.” (1 Raja-raja 3:9). Hikmat Illahi bukan kecerdasan (IQ) dan tidak ada kaitan/hubungannya dengan latar belakang pendidikan atau gelar/jabatan akademik. Hikmat juga tidak sama dengan kompetensi (know what, know how, dan know why) atas satu bidang tertentu.

Kata yang diterjemahkan oleh LAI dengan faham adalah sha?ma?, yang secara literal berarti: mampu mendengar dengan pemahaman, terkait dengan tujuan (konteks) untuk melakukan ketaatan. Yang diminta oleh Salomo adalah hati yang peka kepada suara Tuhan, peka kepada kebenaran–bukan hanya mampu mengumpulkan data/fakta dan menganalisis itu semua, namun memilih dan menentukan apa yang benar dan yang salah dalam standar Tuhan.

Apakah Salomo bukan seseorang yang cerdas? Oh tidak! Ia sangat cerdas. Kitab Pengkhotbah mencatat pencapaian dan prestasi yang dibuat oleh Salomo selama ia hidup. Namun, kesimpulan akhir yang ditariknya adalah: yang terpenting adalah mengerti kehendak Tuhan dan mentaatinya.

Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang. Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat. (Pengkhotbah 12:13-14).

Tidak semua orang cerdas, tidak semua orang punya kesempatan untuk memiliki pendidikan terbaik, tidak semua orang dapat menguasai pengetahuan/ketrampilan. Tidak semua orang kompeten. Namun, semua orang dapat memiliki hikmat! Semua orang dapat memiliki hati yang mampu membedakan apa yang benar dan yang jahat, yang kudus dan yang najis, yang rohani dan yang duniawi.

Dan di hadapan Tuhan, hikmat ini adalah hal yang paling berharga! Lebih berharga daripada kekayaan, kemuliaan, dan kejayaan/kekuasaan dan umur panjang. Ketika Salomo meminta hikmat, ketika Salomo menyadari bahwa hikmat lebih penting dari semuanya, Tuhan berkenan dengan hal itu. Maka selain hikmat, Ia menambahkan juga hal-hal yang tidak diminta Salomo: kekayaan, kemuliaan, kejayaan, dan kekuasaan melebihi semua orang! Hal ini sepertinya paralel dengan pernyataan Tuhan Yesus:

Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu (Matius 6:31-33)

Doa atau permintaan yang sama dinaikkan oleh Musa, abdi Allah itu. Ketika ia menyadari realitas Allah yang Mahatahu dan Allah yang kekal, Allah yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu–dibandingkan dengan usia manusia yang begitu singkatnya, Musa meminta: “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mazmur 90:12).

Kata yang digunakan adalah h?ok?ma?h–berbeda dengan kata yang dipakai Salomo, namun memiliki pengertian yang paralel: kemampuan untuk menjalani kehidupan yang singkat ini dengan benar, karena kehidupan di dunia ini terlalu singkat, cepat berlalu, bagaikan mimpi, bagai usia sebatang bunga rumput: yang pagi berkembang, dan sore sudah lisut dan layu.

Menjelang pergantian tahun ini, ada banyak yang ingin diminta untuk tahun depan: kesehatan, umur panjang, pemenuhan kebutuhan finansial, pengembangan karir, kemajuan pendidikan, penambahan aset/kepemilikan, pencapaian target-target tertentu–namun,  yang terpenting harus diminta semestinya: hati yang berhikmat, hati yang dipimpin oleh Terang Illahi, hati yang mampu menangkap dan memilih untuk taat kepada kehendak Allah yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna itu (Roma 12:2).

Views: 7

This entry was posted in 1 Raja-raja, Perjanjian Lama, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *