Keadilan, Belas Kasihan, dan Kepatutan

Ulangan 25:1-19

Prinsip keadilan, belas kasihan, dan kepatutan dalam segala situasi. Prinsip-prinsip ini merupakan pencerminan sifat-sifat TUHAN yang adil, yang penuh belas kasihan, dan yang menghargai nilai manusia. Prinsip ini tidak hanya dilakukan ketika kehidupan berjalan normal, tetapi juga tetap harus ditaati ketika ada di dalam situasi konflik. Tidak ada jenis situasi yang bisa dipakai alasan untuk tidak menerapkan prinsip keadilan, belas kasihan, dan kepatutan. Itu yang membedakan umat TUHAN dari bangsa-bangsa yang tidak mengenal TUHAN.

Ayat 1-3. Ketika ada perselisihan, maka perkara itu harus dibawa ke pengadilan. Dan ketika terbukti siapa yang bersalah, maka sesuai dengan derajat kesalahannya, orang itu harus dihukum–ini untuk memenuhi prinsip keadilan. Akan tetapi, penjatuhan hukuman itu ada batasnya. Hukuman tidak boleh sampai merendahkan martabat seseorang–ini prinsip belas kasihan dan kepatutan.

Ayat 4. Umat TUHAN dilarang memberangus mulut lembu yang seang mengirik–sehingga lembu itu masih bisa makan ketika dipekerjakan. Tidak boleh ada ekspoitasi yang tanpa belas kasihan–sekalipun kepada binatang atau sumber daya alam yang lain. Otoritas manusia atas alam ini tidak memberikan ijin kepadanya untuk mengkspoitasi habis-habisan tanpa belas kasihan sama sekali.

Ayat 5-10. Ketika seorang laki-laki Israel mati, dan belum memiliki anak laki-laki, maka keluarganya ada dalam bahaya kehilangan hak waris atas tanah pusaka pemberian TUHAN. Karena itu, saudaranya laki-laki harus menikahi janda saudaranya itu agar memiliki keturunan laki-laki untuk menyambung garis keluarganya, sehingga hak warisan masih tetap ada di keluarganya. Ini prinsip keadilan dan belas kasihan. Kalau ada laki-laki yang tidak mau melakukan kewajiban ini, maka dia tidak berdosa, tetapi ia menunjukkan hati yang egos dan tidak punya belas kasihan–sehingga ia harus dihukum secara sosial.

Ayat 11-12. Ketika terjadi pertengkaran antara dua laki-laki, dan istri dari salah satu laki-laki yang berkelahi itu datang, kemudian menjamah kamaluan laki-laki yang menjadi lawan suaminya; itu adalah berbuatan yang tidak patut dan harus dihukum dengan tegas. Mengapa? Ada dua kemugkinan: (1) perbuatan itu tidka patut dilakukan seorang perempuan–menjamah kemaluan laki-laki lain yang bukan suaminya; (2) perbuatan itu bisa membahayakan organ reproduksi seorang laki-laki–yang bisa membuatnya tidak bisa menghasilkan keturunan; bisa memutus garis keluarga orang itu.

Ayat 13-16. Umat TUHAN dilarang melakukan kecurangan, sebab itu melanggar prinsip keadilan TUHAN. Tidak boleh ada dua macam timbangan, tidak boleh mencurangi orang lain dalam berdagang. Kecurangan yang didasari keinginan mendapat keuntungan lebih besar itu justru mendatangkan celaka–sebab tidak akan panjang umurnya; tidak sustainable. Bisa membuat usahanya, bahkan umurnya, justru menjadi pendek. Dan kecurangan seperti itu adalah kekejian di hadapan TUHAN.

Ayat 17-19. Uamt TUHAN harus terus mengingat apa yang dilakukan oleh bangsa Amalek kepada mereka. Bukan masalah peperangannya, tetapi karena bangsa Amalek itu menyerang umat TUHAN secara licik: menyerang dari belakang, menyerang barisan orang-orang yang lemah, menyerang ketika umat TUHAN sedang dalam konsisi lesu. Tindakan mengksploitais kelemahan musuh secara tidak patut, secar alicik, secara curang. Praktik yang lazim dilakukan oleh dunia ini adalah kekejian di hadapan TUHAN, dan merupakan kejahatan yang sangat serius, sehingga TUHAN sampai menghendaki agar orang Amalek dibasmi habis, sehingga menghapus ingatan orang atas mereka.

Penerapan:
Mengingat-ingat dan memikirkan baik-baik setiap keputusan dan respons yang akan diambil–apakah itu menerapkan prinsip keadilan, belas kasihan, dan kepatutan.

Views: 17

This entry was posted in Perjanjian Lama, Refleksi, Ulangan. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *