Pernikahan yang Permanen

Markus 10:1-12

Pandangan dunia tentang pernikahan hanya sebatas pada kontrak/ikatan hukum. karena hanya kontrak, maka bisa dihentikan, bisa dibatalkan, bisa diputuskan, bisa selesai–dan kemudian membuat kontrak yang baru. Dalam pandangan Tuhan, yang tertulis dalam Firman-Nya, pernikahan lekai-laki dan perempuan adalah ikatan tubuh-jiwa-roh; dua menjadi satu daging, yang sifatnya permanen dan tidak bisa dibatalkan, tidak bisa diputuskan. Kecuali hanya oleh kematian.

Orang-orang Farisi datang untuk mencobai Yesus. Ketika mereka bertanya, bukan untuk belajar, bukan untuk berdiskusi mencari kebenaran; tetapi mereka bertanya untuk mencari kesalahan dan untuk menjebak Yesus agar menyatakan jawaban atau perkataan di depan publik yang bisa dipakai untuk menuduh Yesus. Tidak semua orang yang bertanya itu motivasinya untuk mencari kebenaran dan tunduk kepada kebenaran. Akan selalu ada orang yang hanya mencari pertengkaran atau mencari kesalahan atau berusaha menjebak melalui perkataan.

Kali ini pertanyaan jebakan orang Farisi itu tetang pernikahan: apakah seorang suami diperbolehkan untuk mencerikan istrinya. Pertanyaan ini diajukan karena memang ada kontradiksi: di satu sisi, orang Yahudi yakin bahwa pernikahan itu dibuat oleh Tuhan, di sisi lain, Musa memperbolehkan seorang suami untuk menceraikan istrinya dengan alasan: ada kondisi atau perbuatan yang tidak senonoh (ervah: nakedness, uncleaness, indecent) yang membuat sang suami tidak lagi bisa menerimanya–Ulangan 24:1.

Yesus menyatakan bahwa, ijin untuk memberikan surat cerai oleh Musa itu dikarenakan kekerasan hati orang Israel–yang tidak mau untuk berjuang mempertahankan pernikahannya apapun yang terjadi–sebagaimana yang dirancang oleh Tuhan pada awalnya. Yesus menekankan bahwa di dalam rancangan Tuhan, pernikahan itu membuat suami menjadi satu daging dengan istrinya–tidak bisa dipisahkan sebab sudah menjadi satu kesatuan. Sehingga apa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh dipisahkan oleh manusia.

Ketika mereka sudah sendirian di dalam rumah, murid-murid menanyakan isu yang sama. Yesus menjawab: seorang suami yang menceraikan istrinya lalu menikah lagi, berarti di melakukan perzinahan dari perspektif istri yang diceraikannya. Demikian juga sebaliknya, apabila seorang istri menceraikan suaminya dan menikah dengan laki-laki lain, perempuan itu juga melakukan perzinahan. Dengan demikian Yesus mengajarkan bahwa pernikahan itu bersifat permanen–tidak boleh ada perceraian.

Kalau sampai bercerai, maka tidak bisa menikah lagi. Kemungkinan menikah lagi hanyalah apabila ditinggal mati oleh pasangannya. Dan kemungkinan menikah lagi hanyalah dengan laki-laki atau perempuan yang belum pernah menikah, atau yang ditinggal mati suami/istrinya. Tidak ada peluang untuk menikah dengan orang yang sendirian karena bercerai. Diluar kondisi itu, pernikahan lagi merupakan dosa perzinahan di mata Tuhan! Sebab selama laki-laki dan perempuan itu masih hidup–ikatan pernikahan mereka tidak pernah putus di hadapan Tuhan.

Views: 14

This entry was posted in Markus, Perjanjian Baru, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *