Antara Tuhan dan Keluarga

Markus 3:21,31-35

Di dalam hidup melakukan kehendak Bapa, bahkan Yesus-pun mengalami ketegangan atau konflik dalam relasi-Nya dengan keluarga. Ia tidak dimengerti, Ia disalahpahami, “Waktu kaum keluarga-Nya mendengar hal itu, mereka datang hendak mengambil Dia, sebab kata mereka Ia tidak waras lagi” (ayat 21).

Ayat 31-32. Ibu dan saudara-saudara Yesus datang ke tempat Yesus tinggal/melayani, mereka berada di luar rumah dan menyuruh orang untuk memanggil Yesus keluar. Mungkin karena begitu banyaknya orang berjubel, sehingga keluarga Yesus tidak bisa masuk ke rumah menemui Yesus. Mungkin juga, keluarga-Nya ingin berbicara secara pribadi kepada Yesus, supaya tidak didengar orang banyak.

Merefleksikan ayat 21, keluarga Yesus datang bertujuan untuk membawa Dia pulang. Alasannya: mereka menilai Yesus sudah tidak waras (existemi: out of wits, out of one’s mind, to be transported beyond oneself with astonishment). Mereka menilai Yesus sudah lupa Diri, kehilangan orientasi, karena ketenaran-Nya menjadi tidak lagi berpijak pada realitas, mengalami gangguan mental karena (mungkin) fantisme agama. Kemungkinan alasan kedua: mereka sudah melihat munculnya oposisi ancaman dari para ulama Yahudi, dan ancaman itu bisa melibatkan mereka–mereka berusaha menyelamatkan Yesus dan diri mereka sendiri dari konflik dengan para ulama.

Apapun alasannya, keluarga-Nya datang untuk menemui Yesus. Dalam budaya Yahudi yang sangat menjunjung tinggi nilai ikatan keluarga–salah satu dari 10 Hukum Musa memerintahkan penghormatan kepada ayah dan ibu, hukum-hukum Musa mencerminkan perlindungan dan pelestarian atas suku/puak/keluarga/garis keturunan–mungkin keluarga Yesus berharap mendapat perhatian/perlakuan khusus.

Ayat 33-35. Yesus justru memberikan cara pandang baru atas relasi dengan keluarga. Sambil memandang kepada orang-orang yang duduk mengelilingi-Nya, Yesus berkata: “Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Barang siapa melakukan kehendak Allah dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” Di dalam tata Kerajaan Allah, ukuran relasi yang utama adalah: ketaatan kepada kehendak Allah–bukan lagi hubungan darah. Konsep Keluarga Allah adalah: kumpulan orang-orang yang melakukan kehendak Allah.

Prinsip ini menjadi alat untuk mengevaluasi relasi orang percaya dengan orang lain. Relasi dengan orang seperti apa yang harus dipertahankan, yang harus diperjuangkan, yang harus ditumbuh-kembangkan? Relasi dengan orang seperti apa yang harus dikurangi, dan kalau perlu ditinggalkan. Bukan berarti tidak mengasihi atau melayani, tetapi dalam hal memposisikan, dalam hal memprioritaskan, di dalam menginvestasikan hidup.

Views: 10

This entry was posted in Markus, Perjanjian Baru, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *