Tabib Bagi Mereka Yang Sakit

Markus 2:13-17

Konflik kedua antara Yesus dan para ulama yang dicatat dalam Injil Markus berkaitan dengan relasi-Nya dengan orang-orang berdosa. Ketika ahli-ahli Taurat dan golongan Farisi melihat bahwa Yesus makan dengan pemungut cukai dan orang berdosa, mereka menilai bahwa itu adalah tindakan yang bertentangan dengan hukum Tuhan–sebab orang benar harus memisahkan diri dan tidak boleh bercampur dengan orang-orang fasik (misal, Mazmur 1:1).

Jawaban Yesus sangat menarik: Ia tidak menyangkal keyakinan bahwa orang benar tidak bisa bersekutu dengan orang fasik, supaya tidak tercemar dengan dosa dan kefasikan mereka; tetapi Yesus menyatakan bahwa Ia bukan hanya “Orang Benar”, tetapi “Seorang Tabib” yang harus berada di antara orang sakit untuk bisa menyembuhkan mereka.

Bagi Lewi dan banyak pemungut cukai dan orang berdosa yang bersama-sama dia, kehadiran Yesus di antara mereka, tidak hanya untuk mengajar, tetapi mau makan bersama mereka, merupakan bentuk kasih yang luar biasa. Karena selama ini, yang mereka dapatkan dari masyarakat sekitar, dan terutama para ulama, adalah sikap penghakiman, pelecehan/perendahan, dan merginalisasi.

Jawaban Yesus juga menjadi teguran bagi para ulama yang merasa diri mereka lebih benar, lebih suci, lebih tinggi daripada para pemungut cukai dan orang-orang berdosa: (1) menelanjangi sikap mereka yang merasa sudah “sehat”, sudah benar, sudah sempurna, sehingga tidak memerlukan pengobatan/pengampunan–padahal di mata Tuhan, mereka itu munafik sama seperti “kuburan yang dilabur putih” (Mat 23:27); (2) menunjukkan kegagalan mereka untuk membawa orang berdosa kepada pertobatan, karena sikap mereka yang tidak mau berrelasi dengan orang-orang berdosa.

Penerapan:
(1) Bersyukur kepada Tuhan, oleh karena sekalipun saya berdosa, Ia datang kepada saya dan mengasihi saya, mati untuk menjadi Penebus saya, supaya saya disembuhkan/diselamatkan dari dosa dan murka Tuhan yang sudah tersedia bagi saya.
(2) Mengakui dosa saya, yaitu kemunafikan, karena saya masih bisa dan berani menghakimi orang lain, dan merasa lebih benar/baik daripada orang lain, padahal saya sendiri penuh dengan dosa dan kejahatan yang menjijikkan–lebih menjijikkan daripada dosa/kesalahan orang lain yang saya lihat.

Views: 30

This entry was posted in Markus, Perjanjian Baru, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *