Iman yang Seimbang

Markus 1:40-45

Iman yang benar nampak dari sikap yang seimbang antara: meyakini kuasa/kemampuan Tuhan dan mengakui/tunduk kepada otoritas Tuhan. Meyakini kuasa Tuhan membuat orang percaya bahwa Tuhan sanggup melakukan apapun juga–termasuk perkara-perkara yang mustahil. Pengakuan kepada otoritas Tuhan membuat orang menyadari, bahwa Tuhan bebas untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu–tidak ada yang bisa “mengharuskan” Tuhan.

Bahaya dari orang yang tidak memahami otoritas Tuhan: (1) sikap yang penuh presumption–memastikan/mengharuskan Tuhan untuk bertindak; Tuhan dipahami seperti formula/rumus–jika begini, maka pasti begitu; ekspresinya adalah keyakinan yang membabi-buta, Tuhan “pasti” akan melakukan/memberikan apapun yang diminta/diinginkan; (2) sibuk mencari dosa/kesalahan yang menghalangi kuasa Tuhan, atau merasa imannya kurang kuat atau kurang sunggung-sungguh dalam meminta, sehingga “tidak sanggup menggerakkan” hati Tuhan untuk bertindak.

Orang berpenyakit kusta ini menunjukkan iman yang benar: ia percaya bahwa Yesus sanggup untuk mentahirkan sakitnya, tetapi ia juga sadar bahwa keputusan itu ada di tangan Yesus–apakah Ia mau atau tidak mau untuk mentahirkannya. Karena itu, sekalipun ia memiliki kepercayaan yang kuat akan kuasa Yesus, ia datang dengan berlutut, merendahkan diri, memohon belas kasihan-Nya, agar Yesus mau untuk mentahirkannya.

Karena itu, iman harus memiliki dasar, yaitu: kehendak Tuhan. Keyakinan saya bahwa Tuhan berkuasa melakukan segala sesuatu tidak bisa digunakan sebagai satu-satunya dasar iman. Yang lebih penting adalah: saya mengetahui apa kehendak Tuhan atas perkara yang sedang saya hadapi/gumulkan. Berdasar kehendak Tuhan itulah, saya berani untuk meminta dan meyakini bahwa Tuhan akan melakukannya.

Di sisi lain, ada perkara-perkata yang Tuhan belum menyatakan kehendak-Nya dengan jelas. Apakah itu berarti saya tidak boleh percaya dan meminta pertolongan-Nya? Tetap saya akan datang meminta pertolongan Tuhan, dengan sikap sebagaimana Si Kusta itu: merendahkan diri dan memohon, “Kalau Tuhan mau, Tuhan bisa menolong saya. Tolonglah saya.” Dan terbuka dan menerima dengan rendah hati dan penundukkan diri apapun jawaban Tuhan: apakah Ia mau mengerjakannya atau tidak.

Penerapan
(1) Berjuang melawan sikap presumption yang saya miliki tentang Tuhan: karena Tuhan Mahakuasa, dan saya adalah umat-Nya, maka Tuhan pasti melakukan apapun yang saya minta.
(2) Menempatkan diri di bawah otoritas Tuhan: merendahkan diri, memohon belas kasihan agar Tuhan berkenan untuk melakukan apa yang saya minta kepada-Nya.

Views: 12

This entry was posted in Markus, Perjanjian Baru, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *