Tanpa TUHAN, Semuanya Sia-sia

Mazmur 127:1-5

Salomo, yang diyakini sebagai penulis mazmur ini, juga menulis Kitab Pengkhotbah yang menyimpulkan bahwa segala sesuatu itu akan sia-sia kalau TUHAN tidak terlibat di sana. Salomo tidak hanya bicara dari teori, tetapi ia sendiri telah mencoba semua aktivitas yang mungkin dilakukan oleh seorang manusia–bahkan seorang raja: menguasai pengetahuan, membangun berbagai bangunan yang indah, mengumpulkan harta, menikmati segala macam hiburan dan kesenangan–termasuk memiliki ratusan istri dan selir. Tanpa TUHAN, semuanya sia-sia.

Kata “rumah” (bayith/house) bisa bermakna bangunan tempat tinggal, namun bisa juga berarti keluarga atau dinasti. Ketika seseorang berusaha membangun keluarga dengan keinginan, gagasan, dan usahanya sendiri–padahal Tuhan tidak membangunnya: bukan inisatif, rencana, dan cara TUHAN–maka usaha orang itu akan sia-sia (shav: emptiness, vanity, evil, ruin, uselessness, deception, worthless, without result, fraud, deceit). Tidak hanya usahanya gagal, tetapi usaha itu merupakan suatu bentuk kebohongan, fatamorgana, bahkan sesuatu yang mengandung kejahatan.

Demikian juga ketika orang berupaya untuk menjaga kota: mempertahankan apa yang telah dimiliki tanpa melibatkan atau tanpa perkenan TUHAN. Usaha itu juga akan sia-sia: apa yang coba dipertahankan itu akan lepas, akan hilang–karena TUHAN tidak menghendaki itu untuk dipertahankan. Usaha untuk mencari nafkah juga sama: tanpa keterlibatan TUHAN, niat, rencana, strategi, dan kerja keras apapun hanya akan menghasilkan kesia-siaan. Bagiamana bisa mencari berkat tanpa perkenan Sang Sumber Berkat?

Ketika Tuhan tidak berkenan dengan impian, keinginan, rencana ataupun upayamu untuk membangun apapun: keluarga, sumber penghasilan, atau aktivitas apapun–bahkan pelayanan kepada-Nya; maka apapun yang nekad kaulakukan untuk mewujudkannya akan sia-sia, akan mendatangkan kerusakan, bahkan diperhitungkan oleh Tuhan sebagai kejahatan di hadapan-Nya. Kalaupun Tuhan membiarkan itu terwujud, maka itu bukan sesuatu yang real, itu hanyalah fatamorgana–kamu sedang menipu dirimu sendiri.

Kalaupun di dalam Alkitab ada contoh-contoh di mana Tuhan membuat suatu pelanggaran menjadi jalan berkat atau jalan penggenapan rencananya, maka itu karena Tuhan yang memilih untuk melakukannya–bukan karena keinginan manusia, bukan karena manusia memaksa Tuhan dengan menggunakan contoh di Alkitab itu sebagai preseden yang harus diikuti oleh Tuhan. Tetap saja, itu harus berasal dari kehendak Tuhan, dari anugerah Tuhan–kebaikan/kemurahan yang diberikan tanpa alasan apapun, kecuali karena kasih–bukan karena terjebak/tertelikung oleh preseden.

Penerapan:
(1) Mengakui dosa di hadapan Tuhan: saya berpikir bahwa Tuhan harus memberkati atau menyetujui apa yang saya inginkan karena di dalam Alkitab Tuhan sudah pernah melakukannya, sehingga sekarangpun Tuhan harus melakukannya. Mengakui bahwa saya tidak memahami kedaulatan dan kasih karunia Tuhan.
(2) Meletakkan/melepaskan keinginan atau rencana saya yang ternyata–setidaknya sampai saat ini–tidak memiliki dasar yang jelas bahwa itu berasal dari Tuhan. Karena kalau bukan Tuhan yang berkehendak, impian/rencana saya itu adalah kesia-siaan, yang memboroskan hidup saya padahal itu hanyalah fatamorgana, bahkan yang lebih buruk, itu merupakan kejahatan di hadapan Tuhan.

Views: 9

This entry was posted in Mazmur, Perjanjian Lama, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *