Menjadi Hamba dalam Sikap dan Tindakan

Matius 20:24-28

Ketika mendengar permintaan Yakobus dan Yohanes kepada Tuhan Yesus, ke-10 murid yang lain menjadi marah. Kata yang dipakai untuk “menjadi marah” adalah aganakteo: agan (sangat, very much); achteos (pain, grief, to be oppressed in mind, resentful; sakit hati, pikirannya tertekan, tidak suka). Reaksi 10 murid yang lain sangatlah kuat kepada kedua saudara itu.

Tetapi Tuhan Yesus memanggil mereka dan mengajar tentang sikap yang benar di dalam Kerajaan Allah. Kata “tetapi” menunjukkan bahwa sikap Tuhan Yesus berlawanan dengan sikap ke-10 murid tersebut. Mereka marah melihat orang lain berambisi untuk menjadi yang lebih tinggi kedudukannya dari mereka. Mengapa marah? Karena mereka merasa juga sebenarnya punya ambisi yang sama, dan mereka tidak mau dianggap lebih rendah. Bukankah sebelumnya mereka sudah bertengkar tentang siapa yang terbesar di antara mereka sendiri?

Isi pengajaran Tuhan Yesus:
(1) Mengkonfirmasi bahwa di dalam sistem yang berlaku di dunia ini, para pemimpin menerapkan dominasi (bahwa mereka lebih tinggi atau berkuasa) atas rakyatnya dan menjalankan otoritas (memerintah, menyuruh) rakyatnya. Pemimpin berkuasa, akyat dikuasai, pemimpin memerintah, rakyat harus tunduk pada perintah.
(2) Tetapi, di dalam Kerajaan Allah, praktek seperti itu tidak berlaku. Dalam sistem Illahi, siapa yang ingin menjadi besar haruslah menjadi pelayan (diakonos: bicara tentang aktivitas melayani orang lain), siapa yang ingin menjadi terkemuka haruslah menjadi hamba (doulos: posisi sebagai budak).
Orang yang dipandang tinggi dalam Kerajaan Allah, adalah mereka yang menjadi budak dan melayani orang lain.
(3) Tuhan Yesus sendiri sudah melakukan apa yang diajarkan: Ia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.Tidak hanya melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan orang lain atau menolong orang lain, tetapiĀ  sampai memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.

Penerapan:

  1. Terus belajar untuk menempatkan diri sebagai hamba–tidak lebih tinggi dari orang lain, tapi menempatkan orang lain sebagai tuan yang harus dilayani.
  2. Terus melakukan aktivitas untuk membantu orang lain, untuk memenuhi keperluan orang lain.
  3. Berdoa meminta hati yang tulus sebagai hamba bagi orang lain, berdoa untuk hati yang sungguh-sungguh bersedia melayani orang lain, bukan karena terpaksa atau dengan menggerutu.

Views: 11

This entry was posted in Matius, Perjanjian Baru, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *