A Bargaining Spirit (2)

Matius 20:1-16

Perumpamaan tentang Kerajaan Sorga ini digunakan Tuhan Yesus untuk menjelaskan apa yang dikatakan-Nya kepada Petrus sebelumnya, karena Tuhan menutup perumpamaan ini dengan kalimat: “Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir,” (ay 16).

Seorang tuan rumah pergi keluar pagi-pagi (sekitar pukul 6 pagi) mencari (misthoo: menyewa, mengontrak, to hire) pekerja untuk menggarap kebun anggurnya. Ia mencapai kesepakatan (sumphoneo: sepakat/setuju bersama-sama) dengan para pekerja itu, bahwa mereka akan diberi upah 1 dinar sehari. Maka ia menyuruh mereka untuk mulai bekerja di kebun anggurnya.

Sekitar pukul 9 pagi, tuan itu pergi keluar dan menjumpai orang-orang yang berdiri menganggur di pasar–mereka bukan malas, tetapi mereka adalah buruh lepas yang menunggu orang yang mau menyewa tenaga mereka (ay 7). Tuan itu menyuruh mereka pergi bekerja di kebun anggurnya dan menjanjikan akan membayar mereka dengan pantas (dikaios: benar, adil, semestinya).

Hal yang sama dilakukan oleh tuan itu kepada orang-orang menganggur yang ditemuinya pada pukul 12 siang dan pukul 3 sore. Bahkan, kira-kira pukul 5 sore, sekitar 1 jam sebelum berakhirnya jam kerja dihari itu (ay 12), ia masih menyuruh pekerja yang menganggur untuk pergi bekerja ke kebun anggurnya, dengan janji akan memberi upah yang pantas untuk mereka.

Pada malam hari, tuan itu menyuruh mandornya untuk membayar para pekerja itu, dimulai dari yang bekerja paling akhir (jam 5 sore). Semua pekerja itu diberi upah yang sama, masing-masing 1 dinar. Para pekerja yang pertama, yang mengira mereka akan mendapat upah labih banyak karena mereka bekerja lebih lama, bersungut-sungut ketika menerima upah sama dengan yang lainnya. Mereka menuduh tuan itu tidak adil karena menyamakan mereka dengan pekerja yang hanya bekerja 1 jam.

Tetapi tuan itu menjawab mereka bahwa ia menepati kesepakatan yang sudah dibuat: yaitu 1 dinar sehari. Para pekerja itu sudah setuju, dan sekarang mereka menerima upah sesuai perjanjian itu. Perkara tuan itu mau bermurah hati kepada orang lain, itu adalah haknya–karena tuan itu bebas bersikap murah hati dan memberi siapapun dari harta miliknya.

Ada dua jenis relasi antara pekerja-pekerja itu dengan sang tuan: (1) relasi berdasar perjanjian/kontrak yang disepakati kedua belah pihak setelah proses tawar-menawar atau negosiasi (bargaining); (2) relasi berdasar kemurahan hati sang tuan–karena tuan itu kasihan melihat orang menganggur (sebenarnya tuan itu tidak memerlukan tenaga mereka), maka ia memberi mereka pekerjaan–tanpa perjanjian/kontrak atau bargaining, tetapi janji bahwa mereka akan mendapat upah yang pantas.

Tuhan Yesus sedang mengajarkan sifat Allah: adil dan setia pada perjanjian; serta penuh kasih karunia. Allah akan memperlakukan orang sesuai relasinya. Kepada orang yang memiliki mental pedagang (a bargaining spirit), Ia akan menepati kesepakatan-Nya; tetapi kepada orang yang percaya kepada kemurahan-Nya, Ia akan bermurah hati keada mereka. Diletakkan dalam konteks peristiwa orang muda yang kaya dan respons Petrus, ini menjadi peringatan agar murid-murid tidak melakukan hitung-hitungan dengan Tuhan tentang berapa banyak yang sudah mereka serahkan untuk mengikut Dia, tetapi hidup berdasar kasih karunia dan kemurahan Tuhan.

Hidup berdasar kasih karunia itu dilandasi oleh pengenalan akan sifat Allah yang penuh dengan belas kasihan dan kemurahan. Apabila sang tuan itu merupakan lambang Allah, maka perumpamaan itu menyebutkan sifat Allah yang: penuh belas kasihan, penuh kemurahan, dan berdaulat. Ia memanggil orang bukan karena Ia memerlukan mereka, tetapi karena Ia ingin memberkati mereka. Ia bebas untuk melimpahkan kemurahan-Nya kepada siapa saja yang Ia kehendaki, tidak ada yang bisa mengatur-Nya.

Penerapan:

  1. Mengakui bahwa Tuhan memiliki kedaulatan penuh untuk memberi upah kepada hamba-hamba-Nya.
  2. Tidak marah, protes atau bersungut-sungut atas apa yang Tuhan berikan kepada saya. Tetapi bersyukur karena sudah dipanggil karena belas kasihan-Nya.
  3. Meminta agar Tuhan berkenan untuk mencurahkan kemurahan dan belas kasihan-Nya sebanyak-banyaknya, bukan karena prestasi dan kelayakan saya, tetapi karena kebesaran kasih setia-Nya semata.

Views: 10

This entry was posted in Matius, Perjanjian Baru, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *