Tentang Perceraian

Matius 19:1-11

Tuhan Yesus pindah dari Galelia ke wilayah Yudea di seberang Sungai Yordan. Orang banyak mengikuti Dia, dan Dia menyembuhkan banyak orang di sana. Di tengah pelayanan mengajar dan menyembuhkan orang itu, beberapa orang Farisi menemui Dia untuk mencobai/menguji/mencari kesalahan dengan pertanyaan: Apakah sesuai hukum kalau seorang laki-laki menceraikan istrinya berdasar alasan apapun juga?

Hukum Musa tentang perceraian ada dalam Ulangan 24:1-4. Sebenarnya tekanan utama aturan ini adalah: apabila seorang laki-laki telah menceraikan istrinya, kemudian perempuan itu menikah dengan orang lain dan karena perceraian atau kematian perempuan itu kembali menjadi janda, laki-laki yang pertama tadi tidak boleh mengambil perempuan itu kembali menjadi istrinya. Karena perempuan itu telah dicemari. Ini adalah kekejian di hadapan Tuhan! Praktek ini mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan Tuhan kepada umatNya.

Namun, pada bagian awal aturan itu (Ula 24:1) ada klausul: “jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh (indecency, erwah: ketelanjangan, sesuatu yang memalukan), maka laki-laki itu boleh membuat surat cerai. Ada dua aliran penafsiran tentang alasan boleh menceraikan istri: (1) Aliran Shammai: alasan yang diperbolehkan adalah hanya kalau perempuan itu tidak setia kepada suaminya; (2) Aliran Hillel: alasan apapun bisa dipakai seorang laki-laki untuk menceraikan istrinya, bahkan termasuk: apabila istrinya menggosongkan masakan, atau apabila laki-laki itu bertemu perempuan lain yang lebih menarik!

Pada zaman Tuhan Yesus, aliran Hillel ini yang dominan dan dianut oleh masyarakat. Sehingga posisi perempuan sangat tidak aman, setiap saat suaminya bisa menceraikan diri dengan dasar alasan apapun. Orang-orang Farisi ini ingin melihat bagaimana pendapat Tuhan Yesus tentang perceraian.

Pertama, Tuhan Yesus merujuk bukan kepada Hukum Musa, melainkan kepada lembaga perkawinan itu sendiri di Kitab Kejadian. Perkawinan bukan sekedar ikatan relasi atau perjanjian antar individu–bukan sekedar masalah relasi sosial. Perkawinan adalah ikatan dan kesatuan yang dilakukan oleh Allah sendiri. Keunikan perkawinan adalah: kedua individu itu tidak lagi sendiri-sendiri, tetapi menjadi satu daging/tubuh. Ada ikatan yang sangat dalam antara suami istri–yang melebihi bentuk relasi yang lain: “bersatu” (kollao: glue, stick, joint, melekat menjadi satu). Sehingga seharusnya tidak bisa dipisahkan oleh keinginan dan aturan manusia.

Kedua, orang-orang Farisi lalu bertanya: Mengapa Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai. Dalam Hukum Musa, tidak ada perintah atau keharusan untuk memberikan surat cerai. Pemberian surat cerai itu diijinkan/diperbolehkan, dan bukannya diperintahkan. Dan menurut Tuhan Yesus, pemberian surat cerai diperbolehkan karena kekerasan hati umat Tuhan. Perceraian diperbolehkan, tetapi bukan sesuatu yang diinginkan/dikehendaki oleh Allah. Perceraian adalah pilihan yang diijinkan Allah karena dalam kemurahanNya, Ia meladeni kekerasan hati umatNya.

Ketiga, Tuhan Yesus menyatakan pendapatNya mengenai syarat perceraian: (1) Satu-satunya alasan seseorang boleh menceraikan istrinya adalah apabila perempuan itu melakukan perzinahan (porneia: dosa seksual, percabulan, tidak hanya perzinahan). (2) Kalau seorang laki-laki menceraikan istrinya bukan atas dasar dosa seksual, dan kemudian ia menikah dengan perempuan lain, maka leaki-laki itu sudah melakukan perzinahan–karena di dalam pandangan Tuhan Yesus, perceraiannya itu tidak sah, dan sebenarnya laki-laki itu masih terikat kepada istrinya.

Komentar para murid mendengar pengajaran tentang perceraian ini adalah: “Kalau perkawinan laki-laki dan perempuan itu seketat ini, lebih baik tidak usah menikah saja.” Standar tentang pernikahan yang diajarkan oleh Tuhan Yesus begitu tinggi, jauh melampaui standar yang dianut oleh masyarakat sejak jaman Musa.

Pandangan Kekristenan tentang pernikahan dan perceraian mestinya sangat unik dan unggul/mulai di tengah cara pandang dunia. Tetapi, justru masyarakat Barat, yang diidentikkan sebagai masyarakat Kristen, justru memiliki cara hidup yang sangat longgar terkait seksualitas, pernikahan, dan perceraian!

Penerapan

  1. Ketika sudah memutuskan untuk menikah, maka itu berarti mengikatkan diri sangat erat kepada pasangan hidup. Apapun keadaan atau kondisinya, harus diperjuangkan dan dijalani pernikahan itu.
  2. Sekalipun bukan merupakan yang diinginkan Tuhan, Tuhan memberikan konsesi bagi umatNya untuk bercerai. Kalau sampai terjadi perceraian (setelah diupayakan dengan semua cara, namun pasangan itu sudah tidak mampu lagi berjuang); saya tidak bisa menghakimi mereka yang bercerai–karena Tuhan sendiri memberikan ruang bagi kemungkinan perceraian itu.

Views: 24

This entry was posted in Matius, Perjanjian Baru, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *