Berbahagialah Orang yang Murah Hati

Matius 5:7

Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. Murah hati (ellemon: merciful, berbelas kasihan, welas asih). “It is the ability to put one’s self in another’s situation and act with compassion” (Utley, 2014). Empat karakter yang telah disebut di ayat 3-6 berbicara tentang kondisi di mana orang percaya melihat bertapa besar kebutuhan rohaninya. Mulai ayat 7, Tuhan Yesus bicara tentang karakter yang mendorong/memotivasi tindakan seseorang.

Orang percaya melakukan kemurahan kepada orang lain karena ia telah lebih dahulu mendapatkan kemurahan dan untuk memperoleh kemurahan lebih lanjut dari Allah. Sumber belas kasihan kepada orang lain bukanlah kebesaran hati seseorang, tetapi kesadaran bahwa ia telah lebih dahulu menerima kemurahan dari Allah di dalam Kristus: “Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia,” (Yohanes 1:16).

Hari yang berbelas kasihan membuat orang bisa melihat dan menempatkan diri di posisi orang lain–yang memerlukan kemurahan, dan bertindak untuk memberikan kemurahan kepada orang itu. Penghalangnya adalah: egoisme–saya sendiri repot, pekerjaan saya tidak hanya untuk mengurusi kamu, saya sendiri butuh, mengapa harus melayanimu?

Karena itulah, mengingat akan fakta bahwa Tuhan sudah lebih dahulu memberikan kemurahan demi kemurahan akan menolong: saya yang sudah menerima begitu banyak kemurahan dari Tuhan, pantaskah untuk menolak atau menunda kemurahan kepada orang lain? Murah hati bertentangan dengan ketamakan dan egoisme, karena ketamakan selalu berorientasi kepada diri sendiri: terus menerus merasa kurang dan belum cukup–sekalipun sebenarnya sudah melimpah!

Lihatlah betapa sudah begitu baiknya Tuhan itu kepadamu. Lihatlah betapa Ia telah memberikan kemurahan demi kemurahan kepadamu. Ingatlah betapa Ia telah lebih dahulu mengasihi dan berbelas kasihan kepadamu. Ingat kasih-Nya, ingat kebaikan-Nya, dan anugerah-Nya yang telah dicurahkan-Nya kepadamu.

Views: 14

This entry was posted in Matius, Perjanjian Baru, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *