Berbahagialah Orang yang Miskin di Hadapan Allah

Matius 5:1-3

Yesus melihat kerumunan orang banyak, lalu Ia pergi ke atas gunung. Setelah Ia duduk, murud-murid-Nya datang mendekat. Kemudian Yesus mulai mengajar mereka. Injil Matius ditujukan terutama kepada orang Yahudi yang menjadikan Musa dan hukum Taurat sebagai acuan kehidupan. Cara Matius menuliskan setting peristiwa ini mirip dengan ketika Musa memngajarkan hukum Tuhan kepada bangsa Israel: di gunung, orang banyak mendengarkan, hukum Tuhan dijelaskan. Yesus adalah Musa yang baru, mengajarkan Hukum Kerajaan Allah–menggenapi hukum Taurat (ayat 1-2).

Bagian ini berisi ucapan berkat bagi orang yang percaya. Ada 9 kalimat yang dimulai dengan kata “Berbahagialah” (Blessed: makarios); diikuti dengan kalimat yang menyebutkan satu karakter/sifat tertentu: miskin, berduka, lemah lembut, lapar dan haus, murah hati, suci hati, pembawa damai, dan bersukacita dalam penganiayaan.

Dalam Ulangan 27-28, Musa memerintahkan agar bangsa Israel melakukan ucapan berkat dan kutuk di Gunung Gerizim dan Ebal–intinya: mereka akan diberkati kalau mereka mentaati hukum Tuhan, tapi akan dikutuk kalau melanggarnya. Tekanan ucapan berkat Yesus bukan pada perbuatan ketaatan, tetapi kepada karakter/sifat yang menghasilkan perbuatan ketaatan!

Karakter yang pertama dari orang yang diberkati adalah: miskin di hadapan Allah (poor in spirit). Kata yang digunakan untuk miskin adalah ptokhos yang berarti pengemis (kata ini digunakan untuk Lazarus di Lukas 16:20). Menyadari kemiskinan dan kebangkrutan rohani, tidak merasa memiliki kekuatan rohani dari diri sendiri, menyadari kebergantungan total kepada Allah yang adalah sumber kehidupan, tidak berkata “aku pasti bisa”, tetapi “aku tidak akan pernah bisa kecuali kalau Allah memampukan”.

Beginilah firman TUHAN:
“Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN! Ia akan seperti semak bulus di padang belantara, ia tidak akan mengalami datangnya keadaan baik; ia akan tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk.
Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.
Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya? Aku, TUHAN, yang menyelidiki hati, yang menguji batin, untuk memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya, setimpal dengan hasil perbuatannya.” (Yeremia 17:5-10).

Bagaimana memiliki hati yang msikin di hadapan Allah yang Mahatahu dan Mahamelihat? Karena sekalipun saya mengatakan kepada orang lain bahwa saya mengandalkan Tuhan, sekalipun saya tampil dengan penampakan seseorang yang bergantung kepada-Nya dan tidak mengandalkan kekuatan sendiri; Allah melihat hati saya–Ia tahu apakah saya benar-benar miskin, atau hanya berlagak miskin!

Kesombongan rohani nampak dalam: membuat rencana ini dan itu, menyusun strategi dan prediksi hasil–dan sangat yakin semuanya itu akan tercapai karena kemampuan intelektual, ketrampilan, kekuatan, dan segala macam perhitungan lainnya. Tidak hanya untuk perkara-perkara sekuler, tetapi juga untuk tujuan-tujuan rohani dan pelayanan. Ini pasti bisa, ini pasti akan tercapai karena: saya rajin, saya pekerja keras, saya setia dan tekun, saya cerdas, saya punya skill, saya punya pengetahuan, saya memiliki bantuan orang, saya punya sumberdaya, saya punya fasilitas, dan semua “saya punya” yang lainnya.

Musa dididik dalam segala hikmat orang mesir, dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya (Kisah 7:22). Pada usia 40 tahun, Musa bertindak sendiri menurut perhitungannya: Pada sangkanya saudara-saudaranya akan mengerti, bahwa Allah memakai dia untuk menyelamatkan mereka’ (Kisah 7:23-25). Hasilnya: kehilangan segalanya dan diasingkan selama 40 tahun. Di pengasingan, Musa ditekuk hatinya agar ia menjadi miskin di hadapan Allah–lama sekali waktu yang diperlukan untuk membawanya sampai pada titik di mana ia bisa berkata dengan sepenuh hati: “Siapakah aku ini?” (Ulangan 3:11). Musa bekerja semata-mata karena Tuhan yang memerintahkan dan karena percaya kepada janji penyertaan Tuhan saja.

Pada malam Yesus ditangkap, Petrus disadarkan betapa miskin dirinya. Ia yang sebelumnya berkata “Biarpun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak … Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau” (Matius 26:33,35), tiga kali menyangkal Tuhannya dengan bersumpah! Pandangan mata Yesus kepadanya menghancurkan kesombongannya, sehingga ia pergi keluar dan menangis dengan sedihnya (Lukas 22:61-62). Petrus baru berani kembali untuk melayani setelah Tuhan memulihkannya dan mengulangi panggilan-Nya (Yohanes 21:15-19).

Bagaimana membangun hati yang miskin di hadapan Allah? (1) Tunduk dan taat kepada pembatasan-pembatasan yang Tuhan berlakukan. Tidak protes, tidak berontak, tidak berusaha mencari loophole atau celah untuk keluar; (2) Terus berdoa meminta Tuhan untuk membentuk watak saya agar saya benar-benar menjadi miskin secara rohani, tidak mengandalkan diri sendiri, tetapi bergantung kepada Tuhan; (3) Tidak menyangkal peristiwa kejatuhan, untuk mengingatkan diri sendiri betapa miskinnya sebenarnya kita, lalu memandang pengampunan dan anugerah Tuhan yang memberi pengharapan.

Views: 127

This entry was posted in Matius, Perjanjian Baru, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *