Kebebasan Kristen

Roma 14:1-23

A Christian man is the most free lord of all, and subject to none; a Christian man is the most dutiful servant of all, and subject to every one. (Luther). Seorang Kristen adalah tuan yang paling merdeka, dan tidak berada di bawah siapapun; seorang Kristen adalah hamba yang paling setia, dan ada di bawah semua orang. Dualisme atau paradox inilah merupakan fakta bagi orang percaya terkait dengan kebebasannya.

Ketika seseorang percaya, maka ia menjadi orang yang bebas merdeka! Ia tidak lagi diatur dengan ketetapan-ketetapan, adat-istiadat, ritual maupun tradisi yang ada tentang: apa yang boleh dan tidak boleh dimakan, aturan tentang hari-hari raya, dan sebagainya. Apapun pilihan seorang percaya atas hal-hal tersebut tidak menjadi masalah di hadapan Tuhan. Karena bagi Tuhan tidak ada sesuatu yang najis dari dirinya sendiri, dan tidak ada hari tertentu yang dianggap istimewa.

Tetapi, bukan berarti orang percaya kemudian hidup sesuka hatinya, karena sekarang bukan lagi adat/ritual/tradisi yang mengaturnya, tetapi prinsip iman dan kasih kepada orang lain yang menjadi patokan dalam hidupnya. Untuk setiap tindakan yang tidak diatur dengan jelas dalam prinsip firman Tuhan, ada beberapa guidelines yang harus ditaati orang percaya.

Pertama, tidak boleh menghakimi orang lain yang memiliki keyakinan atau pandangan yang berbeda terhadap sesuatu yang tidak jelas aturannya dalam firman Tuhan. Setiap orang akan mempertanggung jawabkan keyakinannya sendiri di hadapan Tuhan. Ketika terjadi perbedaan keyakinan atas sesuatu, tetap menerima dan mengasihi orang lain; tidak perlu harus ada kesepakatan keyakinan yang tidak esensial(ayat 1, 3,4,10,12,13).

Kedua, ketika hatinya tulus melakukan sesuatu untuk Tuhan, dan ia melakukannya dengan penuh ucapan syukur kepada Tuhan, dan memandang bahwa apa yang dilakukannya itu merupakan pemberian Tuhan, dan ia melakukannya dengan penuh keyakinan tanpa kebimbangan, maka perbuatannya itu adalah benar–bagi dirinya di hadapan Tuhan (ayat 6-9, 22-23).

Ketiga, setiap orang percaya harus memperhatikan orang lain, mempertimbangkan keyakinan orang lain, jangan sampai membuat orang lain tersandung dan jangan sampai merusak damai sejahtera, apalagi sampai “merusak pekerjaan Allah”, tetapi harus saling membangun. Kebebasan seorang percaya untuk melakukan apa yang diyakininya tidak boleh menjadi batu sandungan bagi orang percaya lain yang memiliki keyakinan yang berbeda (ayat 13-15, 18-20).

Views: 9

This entry was posted in Perjanjian Baru, Refleksi, Roma. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *