Stress Management

Bahan bacaan: Lukas 22:39-53.

Saya tidak bisa menghindari dukacita, kekuatiran, ketakutan, dan perasaan tertekan. Hanya di dalam hadirat Allah yang kekal kelak, semua itu akan berakhir: “Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Wahyu 21:4). Lukas mencatat peristiwa di mana stress management yang keliru ternyata membawa konsekuensi yang serius.

Tuhan Yesus sedang tertekan. “Ia sangat ketakutan … Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah” (ayat 44). Injil lainĀ  mencatat permintaan-Nya untuk ditemani oleh para murid: “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku.” (Matius 26:38).

Di dalam dan karena tekanan kesedihan dan ketakutan itu, Yesus tersungkur ke tanah dan berseru kepada Bapa-Nya. Ia membawa kondisi-Nya di dalam doa. Tidak hanya sekali, namun beberapa kali. Sampai akhirnya, Ia keluar dari pergumulan-Nya sebagai seorang Pemenang. Persoalan-Nya tidak berlalu, cawan itu tetap harus diminum-Nya. Tetapi, sekarang tak ada lagi kegalauan dan ketakutan. Yang tinggal adalah ketetapan hati dan penyerahan diri untuk taat kepada kehendak Bapa-Nya.

Murid-murid juga sedang berduka. Tidak dicatat dengan jelas penyebab maupun seberapa kuat kedukaan itu. Yang jelas, di taman itu, malam itu, Tuhan Yesus “mendapati mereka sedang tidur karena dukacita” (ayat 45). Padahal sebelumnya Tuhan Yesus sudah mengatakan “Berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan” (ayat 40).

Konsekuensinya: saat penangkapan Yesus (yang adalah kehendak Bapa) terjadi, para murid tergagap. Tidak tahu mengambil sikap. Dan ketika akhirnya sebuah tindakan diambil, tindakan itu ternyata merupakan respon yang salah. Ada collateral damage, kerusakan yang tak perlu terjadi. Teguran Tuhan yang didapat.

Bagaimana saya mengelola tekanan, kedukaan, dan ketakutan saya selama ini? Menggunakan tidur dan ‘obat bius’ lainnya untuk sejenak melupakan, dan berharap persoalan akan berlalu dengan sendirinya? Ataukah saya membawanya di dalam doa, menyerukan beban hati saya dan meminta kekuatan dan kelepasan dari Bapa?

Views: 7

This entry was posted in Lukas, Perjanjian Baru, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *