Hati Yang Membantah Kebenaran

Roma 10:1-21

Seseorang dapat menerima firman Allah, mendengar kebenaran Allah dinyatakan kepadanya, dan tetap tidak percaya atau tidak taat. Nubuat Yesaya yang dikutip Paulus dalam ayat 21 mengatakan bahwa bangsa Israel itu bangsa yang tidak taat (apeitheo-sengaja tidak mau percaya) dan membantah (antilego-menjawab dengan yang bertentangan, menyangkal kebenaran yang didengar). Membantah, ngeles, dan membuat argumen penolakan kepada firman Allah yang didengar adalah sikap yang sangat berbahaya–membuat seseorang bisa kehilangan kasih karunia Allah.

Kerinduan hati Paulus adalah agar saudara sebangsanya, yaitu orang Yahudi, diselamatkan. Paulus menyatakan bahwa hati orang Yahudi sebenarnya sangat besar bagi Allah, tetapi mereka memiliki pemahaman yang keliru: berusaha memperoleh pembenaran Allah melalui usaha mereka sendiri untuk mentaati Taurat. Karya Kristus telah mengakhiri ketaatan kepada Taurat sebagai jalan keselamatan, supaya pembenaran dapat diterima oleh siapa saja yang percaya (ayat 1-4).

Paulus kemudian menjelaskan bagian-bagian dari Perjanjian Lama. Bukan berarti ketetapan Allah bahwa “orang yang melakukan Taurat akan hidup” itu dibatalkan–itu tetap berlaku bagi orang yang dapat melakukan semua hukum Taurat dengan sempurna seumur hidupnya–masalahnya, tidak ada satu manusiapun yang hidup di dunia ini (kecuali Yesus) yang dapat melakukannya! Perjanjian Lama sebenarnya mengajarkan hal yang sama: pembenaran Allah diperoleh karena iman, bukan karena perbuatan (ayat 5-13).

Persoalan utamanya adalah: kebanyakan orang Yahudi tidak mau percaya kabar baik tentang pembenaran oleh iman dalam Kristus itu. Sekalipun kabar baik itu sudah disampaikan kepada mereka, baik dalam Perjanjian Lama, dalam pengajaran Yesus ketika Ia hidup di dunia ini, maupun dalam kesaksian para rasul dan orang percaya. Orang Yahudi sudah mendengar berita itu, tetapi mereka tetap tidak percaya. Paulus mengutip penyataan Yesaya: “Sepanjang hari Aku telah mengulurkan tangan-Ku kepada bangsa yang tidak taat dan yang membantah.” (ayat 14-21).

Ketika menerima kebenaran Allah, bagaimana respons saya? Ketika kebenaran Allah itu dinyatakan kepada saya-baik lewat renungan pribadi, khotbah, nasihat orang, pengalaman hidup, maupun bisikan Roh Kudus dalam hati–bagaimana tanggapan saya? Apakah saya membantah, mengajukan alasan, mendebat, dan membuat berbagai argumen penolakan? Ataukah saya menerima dan menundukkan diri kepadanya?

Views: 7

This entry was posted in Perjanjian Baru, Refleksi, Roma. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *