The Distressed God

Pada malam sebelum Ia ditangkap, Tuhan Yesus, untuk pertama kali di dalam hidupNya, merasakan tekanan yang luar biasa. Kesedihan dan ketakutan yang belum pernah Ia alami. Sampai-sampai Ia berkata kepada ketiga muridNya: “Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya” (Markus 14:34).

Dan begitu besar tekanan batin yang dialamiNya, sehingga Ia meminta agar Petrus, Yohanes, dan Yakobus menemani Dia untuk berdoa. Anak Allah, yang tidak pernah membutuhkan dukungan moril dari siapapun; Anak Allah yang tidak pernah takut menghadapi apapun; malam itu, Ia minta untuk ditemani!

Ia tidak minta ditolong, Ia tidak minta dibantu. Ia juga tidak minta untuk didoakan. Ia tahu pasti, bahwa murid-murid itu tidak berdaya apa-apa untuk membantu; sebab tantangan yang sedang dihadapiNya malam itu tidak bisa ditanggung oleh siapapun juga, kecuali DiriNya sendiri. But nevertheless, Ia minta agar murid-muridnya berjaga, untuk tidak tidur, untuk menemaniNya.

Saya ingat, ketika masih kecil, sebelum saya mengenal Kristus, saya sering terbangun di tengah malam dan tidak bisa tidur lagi–saya merasa takut. Semua suara yang terdengar sepertinya merupakan ancaman bagi saya. Saya seperti mendengar langkah kaki orang di luar, atau suara orang yang berusaha membuka pintu. Sekarang saya tahu, bahwa semuanya hanya ada di dalam imajinasi saya sendiri, namun saat itu saya benar-benar ketakutan.

Dan kalau saya sudah tidak tahan, biasanya saya akan mencari ibu saya. Waktu itu, bapak masih studi di Inggris. Saya akan pindah untuk tidur di dekat ibu saya. Dan ketika ibu saya sudah merangkul saya, saat itu juga ketakutan saya reda; dan hati saya menjadi tenang kembali, sehingga saya bisa terlelap.

Padahal, kalau benar-benar ada orang jahat yang masuk ke rumah, apa sih yang bisa dilakukan oleh ibu saya? Apakah ibu saya akan bisa melindungi kami semua? Saya pikir, ibu saya juga tidak akan berdaya. Tetapi, kehadirannya sudah cukup untuk menenangkan saya.

***

Kita tahu, bahwa seringkali, kita harus menghadapi persoalan besar di dalam hidup kita. Dan kita sadar, bahwa hanya kita sendiri yang harus menanggungnya. Namun, kita tahu juga, bahwa kalau ada orang yang mau menemani kita–cukup menemani saja, maka kita merasa mendapat sedikit keringanan. Kita merasa tidak sendirian.

Tetapi, betapa sedihnya kita apabila ketika kita merasa tertekan, tidak ada satu orang pun yang menemani kita. Dan itulah yang dialami Tuhan Yesus. Pada saat Ia ketakutan dan bergumul berat, murid-muridNya justru tertidur lelap. Tuhan Yesus sampai harus 3 kali membangunkan mereka.

Pernahkah kita mengalaminya? Sementara kita sedang dalam persoalan yang sangat berat, sementara kita sedang bergumul hebat, sementara kita sedang gelisah sampai tidak bisa tidur semalam-malaman; orang yang paling dekat dengan kita justru bisa tidur dengan lelap.

Kita tahu, bahwa mungkin dia juga tidak mampu menyelesaikan masalah kita; namun, melihatnya lelap atau malah sampai mendengkur, sementara hati kita begitu sesak–wah, betapa sedihnya. Kita merasa ditinggalkan, kita merasa sendirian.

Kalau kita pernah mengalaminya, janganlah kecil hati. Sebab Tuhan Yesus pun pernah mengalaminya! Dan karena Ia telah mengalaminya, dan mampu menang atas kondisi itu; Ia juga akan memampukan kita untuk menanggungnya. “Sebab oleh karena Ia sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai” (Ibrani 2:18).

***

Malam ini, saya sedang tertekan, sampai dada saya begitu sesak. Mungkin belum sampai seperti mau mati rasanya, tapi betapa riilnya kesesakan itu! Saya tidak bisa melupakannya, saya tidak bisa menghibur diri dengan menonton TV, atau main sudoku, atau membaca. I know, I have to deal with it. And fast! Sebab kalau tidak, kesesakan itu hanya akan membuat pikiran saya kalut–dan saya akan menjadi useless bagi orang lain.

Saya tiba-tiba diingatkan kepada satu ayat yang pernah saya baca, namun celakanya, saya lupa di mana tempatnya dalam Alkitab. Maka, saya memutuskan untuk pergi ke kampus, connect ke Internet, dan mencari ayat itu memakai search engine yang ada di www.gospelcom.net. Inilah ayat yang saya cari itu:

In all their distress He too was distressed, and the angel of His presence saved them. In His love and mercy He redeemed them; He lifted them up and carried them all the days of old. (Yesaya 63:9 NIV)

Oh, saya tahu, Dia Mahakuasa, dan kekuatanNya sangat cukup untuk menolong saya mengatasi apapun masalah saya. Saya juga tahu, bahwa Ia sangat mengasihi saya. Ia memperhatikan saya dan sangat concern kepada saya. Saya yakin bahwa Ia tidak akan membiarkan saya sendirian.

Tetapi, sekalipun begitu, sulit sekali bagi saya untuk percaya bahwa Tuhan itu bisa ber-empati (bisa turut merasakan) apa yang sedang saya rasakan. Masakan Tuhan itu bisa merasakan kesedihan saya? Bagaimana mungkin, Allah yang Mahakuasa itu bisa sungguh-sungguh mengerti kebingungan atau kekalutan saya?

Saya selalu membayangkan Allah sebagai Pribadi yang kuat, yang tenang, yang selalu in control, yang selalu cool. Seperti seorang konselor yang duduk di hadapan saya, dengan sabar mendengarkan setiap keluhan saya, dan kemudian memberikan jalan keluar terbaik bagi persoalan saya; namun yang tidak mengalami apa yang saya alami! Seperti seorang dokter yang ahli dan baik hati, yang berusaha untuk menyembuhkan penyakit saya; namun yang sama sekali tidak merasakan kesakitan seperti yang ada di dalam tubuh saya.

Namun, Yesaya 63:9 itu benar-benar membuka mata saya kepada satu dimensi tentang Allah yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya. Oh, saya tahu, bahwa ketika Allah itu menjadi Manusia Yesus, Ia merasakan semua penderitaan yang mungkin dialami oleh manusia. Namun, ayat itu tidak bicara tentang Tuhan Yesus ketika hidup di bumi ini, melainkan Allah Israel, Allah Mahakuasa yang dikenal di dalam Perjanjian Lama!

Ternyata, ketika umatnya sedang mengalami tekanan, Allah juga ikut merasa tertekan! In all their distress He too was distressed! Ia tidak hanya melihat penderitaan umatNya dari kejauhan, sambil menunggu waktu yang tepat untukmengulurkan pertolongan. Ia tidak hanya duduk di atas takhtaNya dengan “dingin” dan tanpa emosi; namun hatiNya, perasaanNya, turut “terganggu” (saya menuliskan ini dengan penuh rasa hormat kepada Tuhan) ketika melihat umatNya ada di dalam pergumulan.

Ternyata, baik Allah yang dikenal dalam Perjanjian Lama, maupun Allah yang menjadi Manusia Sejati; benar-benar ber-empati, sungguh-sungguh merasakan apa yang saya rasakan. Ia tahu apa artinya ditolak, Ia mengerti rasanya dikhianati. Ia lapar, Ia lelah, Ia berduka, Ia menangis. Ia mengaduh ketika punggungNya dicambuk; Ia mengerang ketika tanganNya dipaku! Ia berdarah-darah ketika dipasangi makhota duri! Ia mengalami semua penderitaan, bahkan hal-hal yang mungkin tidak akan pernah saya derita.

***

Saya tahu sekarang. Ketika saya tidak bisa tidur semalam suntuk karena kesesakan hati saya, Tuhan berjaga bersama saya. Ketika saya begitu marah dan kecewa, Ia tahu betul bagaimana rasanya. Ketika saya bersedih sampai kehabisan air mata, Ia merangkul saya, dengan sekotak tisu di tanganNya. Ketika saya merasa sendirian dan kesepian, Ia berkata: “I am still here“.

Views: 8

This entry was posted in Testimoni. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *