Walaupun Ibu tidak memiliki degree, namun beliau seorang yang terdidik. Educated people do not always hold a degree. On the contrary, many people are not educated, although they hold several degrees.
Ibu saya, walau tidak bertitel; tidak pernah minder di tengah orang banyak. Beliau pernah bertemu Presiden, bergaul dengan menteri, pergi ke Jepang sendiri untuk mengantar misi kesenian anak-anak. Sama sekali tidak canggung. Tetapi juga tidak sombong atau sok. Hari ini Ibu bisa bicara dengan seorang Dirjen, besoknya sudah bercanda dengan mbok penjual tempe di pasar.
Salah satu kalimat yang paling saya ingat dari Ibu adalah: “Le*, kamu itu anak laki-laki tertua. Selama Bapak tidak ada, kamu yang menggantikan tempatnya.” Dan Ibu tidak hanya bicara, melainkan benar-benar melatih saya untuk mengambil tanggung jawab—yang sebenarnya mungkin melebihi porsi saya. Saya ingat betul, ketika baru lulus SD, saya harus berkeliling kota Solo naik sepeda, untuk mencarikan sekolah bagi kakak perempuan saya.
Semakin saya beranjak dewasa, semakin banyak hal dipercayakan Ibu kepada saya. Ketika saya mulai masuk SMA, Ibu mulai banyak bercerita tentang persoalan dan kondisi keluarga. Keadaan keuangan, persoalan di kantor, bahkan masalah yang dihadapi dengan bapak. Sampai sekarang, mungkin Bapak tidak tahu berapa banyak cerita yang sebenarnya saya sudah dengar dari Ibu. Namun itu tak pernah melunturkan hormat dan respek saya kepada Bapak.
Mungkin, karena terbiasa mendengar cerita dan curahan isi hati dari Ibu itulah, maka telinga dan hati saya menjadi terlatih untuk mendengarkan orang lain. Ada beberapa orang berkomentar bahwa di Newcastle ini, saya dekatnya cuma dengan ibu-ibu saja. Mungkin ada benarnya. I find that it is very easy for me to listen to a mother’s voice. Yang jelas, Ibu saya tidak hanya seorang ibu bagi saya, melainkan beliau juga menjadi teman dekat saya.
***
Do you know who is my other favourite woman? Benar. Rut, istri saya. She is one of the strongest women I’ve ever known. Saya tidak hanya mencintainya. Tetapi saya juga kagum, hormat, dan benar-benar respek kepadanya. She has so many qualities that I don’t have in my character. Dan pengorbanan serta penyerahan hidupnya kepada saya takkan pernah terbayar dengan apapun. Sering saya heran, mengapa ia bisa punya penyerahan sedalam itu kepada saya.
Ada banyak sekali cerita yang bisa saya sampaikan tentang wanita yang menjadi istri saya ini. Namun, saya ingin membagikan satu hal yang baru saja terjadi. Peristiwa yang membuat saya sangat terharu. Peristiwa yang menunjukkan isi hatinya tentang saya.
Minggu lalu saya menelepon Rut. Saya mengatakan bahwa kalau nanti saya pulang, saya ingin punya prioritas yang benar. Saya tidak ingin keluarga kami sibuk untuk membeli barang-barang, tetapi lebih banyak menggunakan uang untuk pergi bersama. Saya tidak ingin mewariskan barang-barang, tetapi kenangan indah. Saya tidak ingin, kalau saya mati nanti, anak-anak saya harus mengadakan “super garage sale” untuk membuang barang-barang saya.
Saya tidak sedang mengkritik teman-teman yang punya hobby pergi garage sale, lho. Saya juga suka pergi, kok; bersama keluarga saya. But, without my family, I don’t see any point of going alone. Jadi jangan tersinggung, ya. You have your family here, and you have your own legitimate reasons.
This is my reason: Saya ingin anak-anak saya memiliki kenangan yang indah tentang keluarga. Dan saya tahu, minimal berdasar pengalaman saya: things never buy sweet memories. Semua kenangan manis yang saya miliki, selalu berhubungan dengan apa yang saya alami bersama seseorang, bukan bersama barang.
***
Di telepon, saya bilang kepada Rut, bahwa tidak terlalu banyak kenangan indah yang saya miliki bersama orangtua dan keluarga saya. Saya tahu, bahwa dia pun mengalami hal serupa. Dan kami tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama.
Kemudian Rut mengatakan sebuah kalimat. Kalimat yang belum pernah saya dengar selama 7,5 tahun kami menikah (plus 6 tahun pacaran dan 1 tahun tunangan). Dia berkata, “Aku sulit mengingat satupun kenangan indah bersama keluargaku. Aku baru mulai merasa benar-benar hidup sejak aku berpacaran denganmu.”
Menuliskan lagi kalimat itu membuat saya hampir menangis. That is the highest compliment I have ever got from anybody! Saya bersyukur kepada Tuhan untuk Rut. Sebab ia bukan hanya istri saya, kekasih saya, penolong saya, dan ibu bagi anak-anak saya; but she is also my best friend.
Saya berdoa agar saya tidak hanya menjadi suami, kekasih, dan kepala bagi istri saya; namun juga menjadi sahabat terbaiknya. Saya memohon kepada Tuhan supaya saya tidak hanya menjadi seorang ayah, provider, teladan, dan mentor bagi anak-anak saya; namun juga menjadi teman terdekat mereka.
***
Saya tahu, bahwa Mother’s Day baru akan dirayakan beberapa hari lagi. Namun, saya sengaja mengirim tulisan ini sekarang. Siapa tahu, ini bisa memicu perenungan kita selama 1 minggu ini. Sehingga ketika hari itu tiba, kita sudah tahu apa yang harus kita ungkapkan kepada ibu kita, kepada ibu dari anak-anak kita, dan kepada ibu-ibu lain yang dekat dengan kita. Happy Mother’s Day!
__________
* “Le” berasal dari kata “thole”, panggilan untuk anak laki-laki di Jawa. Tidak semua orang bisa menggunakan panggilan ini, hanya keluarga atau orang yang sangat dekat saja yang “berhak” memakainya.
Views: 7