Siang dan malam aku menangis. Air mata kesedihan dan kepahitan sepanjang hari. Rasa-rasanya tidak ada yang baik yang datang di dalam hidupku. Hanya duka dan sakit hati yang kualami.
Dan orang-orang di sekelilingku sama sekali tidak membantu. Justru mereka merendahkan dan mengejekku: “Di mana Allahmu? Di mana Tuhan yang kau bangga-banggakan itu? Mana bukti kehidupan Kristen yang sering kauceritakan itu? Kau tidak ada bedanya dengan orang lain. Hidup berimanmu ternyata hanya omong kosong!”
Di dalam kesedihanku, aku teringat kepada “prestasi” pelayananku. Aku teringat bagaimana aku membagikan Firman Tuhan; aku terkenang kepada orang-orang yang kubawa kepada Tuhan. Aku ingat ketika aku memimpin pujian dan penyembahan di Rumah Tuhan; dan semua kepanitiaan dan kepengurusan yang pernah kutangani.
Tapi semuanya itu ada di masa lalu. Kenangan akan pelayanan dan kegiatan rohaniku tidak membuat kesedihanku berkurang. Tidak mengobati sakit hatiku. Justru membuatku semakin tertekan dan merasa tidak layak.
***
Aku bertanya kepada diriku sendiri: “Mengapa kau harus sedih? Mengapa kau merasa sesak dan sakit hati? Mengapa kau kehilangan semangat hidup dan ingin mati saja?” Aku mencoba menguatkan hatiku sendiri: “Ayolah. Taruhlah harapanmu kepada Tuhan. Cobalah untuk memuji Dia dan bersyukur kepadaNya, apapun keadaanmu.”
Aku tahu, hatiku sedang terluka. Aku sadar sepenuhnya. Aku tidak berpura-pura bahwa aku sedang baik-baik saja. Aku tidak menyangkal kepahitanku. Justru karena itu, aku akan melakukan hal-hal ini.
Sekarang aku mau mengingat Tuhan, yang sudah memberikan kepadaku segala sesuatu yang bisa kunikmati. Hangatnya matahari, segarnya udara. Anak-anakku, harta warisanku. Orang-orang yang mengasihiku dan mendoakan aku. Makanan dan minumanku setiap hari. Pekerjaan dan karier yang kujalani. Di pagi hari, Tuhan mencurahkan kasih sayangNya kepadaku. Di malam hari, Ia memberikan nyanyian di dalam hatiku.
Sekarang, aku mau berkata kepada Tuhanku: “Mengapa Engkau membiarkan aku sendirian? Mengapa Engkau mengijinkan aku disakiti? Mengapa Engkau tidak membalas orang-orang yang menekan dan mengolok-olok aku?”
Sekarang aku mencurahkan duka dan kemarahanku kepadaNya: “Lihatlah, betapa tubuhku menjadi sakit karena kesedihanku. Lihatlah aku tidak bisa makan, aku tidak bisa minum, aku tidak bisa tidur. Lihatlah betapa aku menjadi lesu. Aku kehilangan semangat hidup, rasanya aku ingin mati saja.”
***
Aku berusaha menyemangati diriku sendiri: “Hai. Mengapa engkau harus bersedih? Mengapa engkau sangat tertekan? Ayolah. Datang kepada Tuhan, bawa semua bebanMu kepadaNya. Kau tahu, di dalam Dia selalu ada harapan. Kau tahu, bagi Dia tidak ada yang mustahil.”
“Mulailah untuk memuji Dia, walau berat mulutmu. Cobalah untuk bersyukur kepadaNya, walau gelap matamu. Sebab Dia, hanya Dia yang bisa menolongmu. Sebab Dialah Penyelamatmu, Dialah Tuhanmu”
_______________
Tulisan ini adalah saduran dari sebuah nyanyian yang ditulis oleh Raja Daud. Silakan membaca Mazmur 42 untuk melihat naskah aslinya. Menuliskan kembali ayat-ayat itu dengan kata-kata saya sendiri menolong saya untuk lebih mengerti maknanya, lebih related dengan keadaan saya.
One thing I know: problem and stress are real. Ketika itu saya alami, saya tidak bisa mengabaikannya; saya tidak bisa berpura-pura bahwa saya baik-baik saja. Saya belajar dari Raja Daud, untuk jujur mengakui bahwa saya memang sedang bermasalah–dan kemudian menyerahkan diri kepada Tuhan supaya Ia mengobati saya.
Views: 8