Bayi, ASI, dan Hidup Rohani

Minggu lalu, saya punya kesempatan untuk menggendong bayi. Ini yang pertama sejak terakhir kali menggendong Abdi 2 tahun yang lalu. What a wonderful feeling! Saya sangat menyukai pengalaman itu. Tubuh mungil terbungkus berlapis-lapis kain penghangat; aroma harum minyak bayi; wajah yang jernih tenang tanpa beban persoalan. Walah … saya jadi pengin punya bayi lagi.

Beberapa menit saya gendong, si bayi mulai gelisah. Merengek dan hampir menangis. Sang ibu langsung tahu apa yang harus dilakukan. Ia menyiapkan sebotol susu dan menyerahkannya kepada saya. Dan, betapa bersemangatnya si bayi untuk meminum susu itu! Cepat sekali ia menghabiskannya. Begitu habis, botol saya lepaskan; dia menjadi tenang kembali—tidur lelap dalam gendongan saya.

Seorang ibu dan ayah akan sangat senang melihat bayinya begitu antusias untuk mengkonsumsi susu. Karena mereka tahu, bahwa air susu itu vital bagi kehidupan, kesehatan, dan pertumbuhan bayinya. Mereka akan sangat cemas dan mungkin menjadi panik, apabila bayinya menolak untuk minum air susu itu. Mereka akan berpikir: “What’s wrong with my baby?

***

Dan jadilah sama seperti bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni dan yang rohani, supaya olehnya kamu bertumbuh dan beroleh keselamatan. (1 Petrus 2:2)

Anehnya, kita jarang atau tidak pernah panik apabila ada seorang Kristen (termasuk diri kita sendiri) yang tidak menunjukkan kehausan seperti bayi terhadap Firman Tuhan. Kita tidak cemas dan tetap merasa normal-normal saja, walaupun mungkin sudah berhari-hari (atau malah berminggu-minggu) sama sekali tidak mendapatkan air susu yang murni dan rohani itu! Padahal, seharusnya kita berkata: “What’s wrong with me?

Saya percaya, bahwa salah satu tanda seseorang itu sudah sungguh-sungguh memiliki kehidupan baru di dalam Kristus adalah: kehausannya akan Firman Tuhan. Dalam pelayanan kami di Solo, kami akan mengamati dengan cermat kehidupan orang selama 3-6 bulan pertama sejak dia mengaku percaya.

Apabila di dalam jangka waktu itu ia tidak menunjukkan tanda-tanda yang jelas bahwa ia haus akan Firman Tuhan; kami akan mulai “meragukan” pertobatannya: apakah dia sungguh-sungguh sudah percaya kepada TuhanYesus? Kalau dia sungguh-sungguh sudah percaya, mengapa dia tidak memunculkan tanda-tanda kehidupan barunya?

***

Bulan lalu, saya diberitahu Rut, istri saya, bahwa Abdi sudah tidak lagi minum ASI. Itu berarti dia butuh waktu lebih panjang dari rata-rata anak. Katanya, seorang anak biasanya butuh waktu sekitar 2 tahun sebelum bisa disapih. Wening lebih cepat disapih; dia sudah menolak untuk diberi ASI ketika berumur 15 bulan.

Mengetahui bahwa Abdi sudah tidak lagi butuh ASI tidak membuat kami panik atau cemas. Justru kami bersyukur. Sebab memang sudah saatnya dia berhenti tergantung kepada ASI, dan mulai mengkonsumsi jenis makanan yang lain. Itu menunjukkan bahwa dia bertumbuh dan berkembang. Itu berarti dia tidak punya kelainan. It proves that he is on the right track in his growing process as a normal human being.

Ketika memikirkan proses pertumbuhan anak-anak saya di dalam hal makan, saya melihat ada tahap-tahap yang mereka lalui.

Ketika baru lahir, seorang bayi tergantung penuh kepada ibunya. Ibunya yang makan, dan dari makanan yang dikonsumsi itu, tubuh sang ibu akan memproduksi ASI, yang kemudian diminum oleh si bayi.

Setelah mulai tumbuh, ASI tidak lagi menjadi satu-satunya sumber makanan si anak. Ibunya akan menyiapkan susu formula, biskuit bayi, bubur, dan kemudian nasi tim. Si anak tidak perlu pusing, dia akan disuapi pada jam-jam tertentu. Masih ada ketergantungan yang sangat kuat kepada ibunya.

Saat si anak semakin besar, ia akan meninggalkan semua jenis makanan bayi. Ibunya masih memasak, menentukan menu, dan menentukan jadwal makan. Namun, sekarang si anak mulai belajar untuk makan sendiri—tanpa disuapi. Wening, yang berusia 6 tahun, sudah makan sendiri. Walaupun ketika sedang “kumat” manjanya, dia masih minta disuapi. Bapaknya Wening juga begitu kok; kalau sedang kumat juga kadang masih minta disuapi.

Tahap berikutnya, biasanya ketika anak berusia SMP ke atas. Ibunya sudah “tidak perlu berpikir” tentang kebiasaan makannya. Ada makanan di rumah, silakan ambil sendiri. Bosan dengan menu di rumah, silakan jajan ke warung. Tidak cocok dengan masakan ibu dan malas pergi ke luar, silakan masak nasi goreng atau menggoreng telor sendiri.

Seseorang mencapai kedewasaan penuh (dalam hal makan), ketika dia sudah sama sekali tidak tergantung kepada orangtuanya. Dia sudah bekerja sehingga punya uang sendiri untuk membeli makanan. Dia bisa menentukan menu sendiri. Dia tahu apa yang dia inginkan dan dia butuhkan. Dan kalau dia sudah punya anak, dia sekarang bisa memberi makan kepada anak-anaknya.

***

Tentang hal itu banyak yang harus kami katakan, tetapi yang sukar untuk dijelaskan, karena kamu telah lamban dalam hal mendengarkan. Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras. Sebab barangsiapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia adalah anak kecil. (Ibrani 5:11-13)

Berapa lama kita sudah mengenal Tuhan Yesus? Berapa tahun kita sudah menjadi seorang Kristen? Ditinjau dari sudut waktu, sampai di mana seharusnya tingkat kedewasaan kita di dalam Firman Tuhan? How is our progress report in the Word of God?

Adakah teman-teman yang merasa dihakimi oleh tulisan ini? That’s good! Saya sendiri tertantang untuk mengevaluasi hidup saya. Saya tahu betul, hidup Firman saya tidak sepadan dengan usia rohani saya. Saya masih sangat malas dan tidak disiplin untuk teratur dalam mendengar, membaca, menyelidiki (study), menghafalkan dan merenungkan Firman Tuhan.

Do your best to present yourself toGod as one approved, a workman who does not need to be ashamed and whocorrectly handles the word of truth. (2 Timotius 2:15 – NIV)

Firman Tuhan adalah pedang Roh (Efesus 6:17). Kalau saya tidak setia untuk menggenggamnya dan berlatih setiap hari; saya tidak bisa menguasai cara yang benar untuk menggunakannya. Saya tidak akan terampil untuk memakainya. Dan kalau saya tidak terampil, bagaimana saya bisa menang di dalam peperangan rohani melawan dosa dan Iblis?

Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan (judges – NIV) pertimbangan dan pikiran hati kita. (Ibrani 4:12)

Tanpa Firman Tuhan, saya akan sangat mudah disesatkan dan dikelabuhi oleh pikiran saya sendiri (maupun orang lain). Saya bisa sudah merasa saleh dan suci. Saya bisa merasa bahwa pertimbangan dan sikap sayalah yang paling benar. Namun, kalau saya setia belajar Firman Tuhan; Firman itu yang akan menghakimi dan menilai apakah pikiran, sikap hati, dan perilaku saya sudah sesuai dengan tata nilai Allah.

***

Saya berdoa agar hati saya terus-menerus memiliki kehausan yang tak pernah terpuaskan terhadap Firman Tuhan. Saya berdoa agar saya memiliki disiplin dan kesetiaan untuk berhubungan dengan Firman Tuhan. Saya berdoa, agar persekutuan dengan Firman yang hidup itu semakin mengubah cara berpikir, sikap, dan perilaku saya.

Views: 7

This entry was posted in Homili. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *