Pikiran saya mengatakan bahwa kenyataan itu benar adanya. Nalar saya mengetahui bahwa memang keadaan itulah yang sebaiknya dan seharusnya terjadi. Saya menginginkan supaya hal itu terjadi. Saya mendoakan supaya keadaan itu terwujud. Namun, ketika keinginan dan doa saya itu benar-benar menjadi kenyataan, perasaan saya tidak bisa 100% sinkron dengan pikiran saya. Sebagian perasaan saya justru sulit menerima, dan menjadi terluka. Kok bisa?
Saya tidak ingin berada di dalam situasi seperti ini. Yang saya inginkan adalah: saya bisa menerima keadaan yang baik itu dengan seluruh totalitas jiwa saya–pikiran, kehendak, dan perasaan saya. Namun, seperti yang sering kali terjadi di dalam hidup saya, perasaan sayalah yang selalu bermasalah. Perasaan saya, walau tidak semuanya, berada di dalam posisi yang berseberangan dengan pikiran dan kehendak saya.
***
Saya sadar, bahwa saya tidak bisa hidup tanpa perasaan. Tuhan yang mendesain saya sehingga saya memiliki perasaan. Berarti, perasaan itu baik adanya. Seperti semua yang diciptakan Tuhan. Tanpa perasaan, saya akan hidup seperti robot atau komputer: tahu apa yang harus dilakukan, mau untuk melakukannya, namun melakukannya tanpa emosi apapun.
Sebagai Manusia Sejati, Tuhan Yesus juga memiliki perasaan. Ke-4 Injil mencatat bagaimana Tuhan Yesus mengekspresikan perasaanNya: belas kasihan kepada orang banyak, terharu sampai menangis ketika melayat Lazarus, bergembira saat murid-murid kembali dari latihan pelayanan, marah melihat Bait Allah menjadi tempat berdagang, dan gentar serta tertekan di Taman Getsemani.
Dari apa yang saya baca tentang Tuhan Yesus, ketiga aspek jiwaNya (pikiran, kehendak, dan perasaan) selalu sinkron, integrated, dan tidak terbagi-bagi. Hanya satu kali saja Dia mengalami konflik internal, di mana perasaanNya bertentangan dengan pikiran dan kehendakNya. Dan kesempatan yang satu kali itu merupakan pergumulan terbesar di dalam hidupNya sebagai Manusia.
***
Taman Getsemani. Tuhan Yesus sudah tahu, bahwa Allah Bapa menghendaki Ia menebus dosa manusia dengan jalan kematian. Tuhan Yesus merasa gentar, tertekan, sedih–seperti mau mati rasanya (Matius 26:38). PikiranNya tahu apa yang harus dikerjakan, perasaanNya sulit menerima; sehingga terjadi konflik internal di dalam jiwaNya.
Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Matius 26:38)
Can you see His struggle? Di satu sisi, Ia tahu apa yang dikehendaki BapaNya, namun Ia berdoa supaya kalau boleh Ia tidak perlu mengalami kehendak Bapa itu. Kalau mungkin, biarlah BapaNya memakai cara lain untuk menggenapi rencanaNya. PerasaanNya sulit untuk menerima dengan total kehendak BapaNya, maka Ia menawar: “Is it possible to do it in another way?”
Tuhan Yesus jujur dengan perasaanNya. Ia tidak menutup-nutupi keberatanNya. Ia tidak menunjukkan sikap “alim” dan “saleh” yang pura-pura. Ketika Ia mengalami pergumulan, Ia mengatakannya dengan terus-terang. Betapa berbeda dengan saya: saya bisa tampil kooperatif, tersenyum mengiyakan; namun sebenarnya perasaan saya memberontak.
Tuhan Yesus tidak berhenti kepada mengekspresikan perasaanNya. Ia dengan sadar memilih untuk tidak mengikuti perasaan itu, tetapi menundukkan diri kepada kehendak BapaNya. Ia tidak menyembunyikan perasaanNya, namun Ia tidak membiarkan perasaan itu yang menentukan tindakanNya. Ia memilih untuk tunduk, apapun perasaan yang dimilikiNya.
***
Yang membuat saya heran adalah: Ia sampai harus 3 kali menaikkan doa yang sama. Mengapa? Bukankah Ia sudah memutuskan untuk tunduk kepada kehendak Bapa? Mengapa Ia masih perlu mengulangi doa itu?
Ini yang saya pikirkan. Saya bisa salah menafsirkan. Namun, inilah yang saya kira sebagai jawabannya. Tuhan Yesus pernah mengatakan bahwa perintah terbesar adalah: mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, jiwa, pikiran, dan kekuatan (Markus 12:30). Ia tahu, ketaatan yang diingini Allah adalah ketaatan yang melibatkan seluruh totalitas hidup orang. Menyeluruh, tidak parsial; melibatkan seluruh pikiran, kehendak, dan perasaan.
Allah ingin, kalau seseorang itu taat, ia tidak hanya tahu apa yang harus dilakukan dan mau melakukannya, namun juga melakukan ketaatan itu dengan perasaan yang rela dan senang hati. Itulah sebabnya, Allah tidak berkenan dengan bangsa Israel: mereka tahu harus pergi ke Tanah Perjanjian, mereka mau berjalan, namun mereka melakukannya tanpa perasaan yang rela–bersungut-sungut terus selama perjalanan.
Pernahkan kita melihat seseorang yang melakukan sesuatu tanpa kerelaan dan kesukaan? Benar, dia tahu apa yang harus dikerjakannya. Benar, dia memang mengerjakannya. Namun, dia mengerjakannya dengan wajah muram dan tanpa kegembiraan. Bukankah kita sebel melihat orang itu? Kita biasanya akan berpikir: mendingan tidak usah dikerjakan sekalian, daripada dikerjakan tapi tanpa sukacita.
Kembali kepada pergumulan Tuhan Yesus di Getsemani. Saya pikir, Tuhan Yesus perlu berdoa sampai 3 kali, oleh karena Ia mau perasaanNya berubah. Ia ingin, ketika Ia melakukan kehendak BapaNya, Ia melakukannya tanpa merasa terpaksa atau berat hati. Ia ingin, agar ketaatanNya adalah ketaatan yang total.
Ini yang saya yakini: ketika Tuhan Yesus selesai berdoa untuk yang ke-3 kalinya, perasaanNya sudah tidak lagi sama. Saya yakin, pergumulanNya telah selesai. Tidak ada lagi resistensi, tidak ada lagi keberatan. Ia sekarang siap untuk melakukan kehendak BapaNya dengan segenap pikiran, kehendak, dan perasaanNya.
***
Saya sadar, perasaan saya belum bisa sepenuhnya berdamai dengan apa yang harus saya kerjakan. Namun, saya ingin belajar dari Tuhan Yesus: tetap memilih untuk mentaati kehendak Tuhan yang sudah saya ketahui, sekalipun perasaan saya bertentangan. Saya mengerti, apabila saya tekun dengan pilihan itu, perasaan saya akan mengikuti.
Saya sadar, bahwa proses penyatuan pikiran, kehendak, dan perasaan itu butuh waktu. Tuhan Yesus saja harus berdoa sampai 3 kali. Itu berarti, saya juga akan mengalami proses yang sama. Yang jelas, saya tidak boleh berhenti memilih untuk taat dan menerima kehendak Tuhan.
Kalau saya menuruti perasaan yang bertentangan itu, maka saya tidak akan pernah jadi mentaati Tuhan. Namun kalau saya tekun dengan pilihan yang benar, maka perasaan saya akan fall in line. Dan, saat itulah saya akan merdeka. Merdeka untuk mentaati Dia!
!
Views: 7