Ketika saya melihat hidup saya selama 35 tahun ini, saya harus mengakui betapa jauhnya saya dari standar yang diinginkan oleh Tuhan. Padahal, saya mengaku sebagai seorang Kristen.
Matius 5 mencatat penjelasan Tuhan Yesus mengenai cara melakukan Hukum Tuhan. Tiap kali membaca bagian ini, saya menjadi stress melihat hidup saya sendiri. Di sana terlihat betapa tingginya ukuran yang dituntut oleh Tuhan:
- ketaatan saya harus melampaui ketaatan orang Farisi (ayat 20)
- memaki orang lain sama dosanya dengan melakukan pembunuhan (ayat ayat 21,22)
- perzinahan telah terjadi pada saat saya baru mulai memikirkannya (ayat 27,28)
- saya dituntut untuk memiliki kejujuran yang mutlak (ayat 37)
- saya tidak boleh membalas, namun harus mengasihi musuh yang menganiaya (ayat 43,44), dan seterusnya
Kemudian, Tuhan Yesus menutup penjelasanNya itu dengan satu kesimpulan: ”Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Matius 5:4).
Perhatikan kalimat itu. Kesempurnaan hidup bukanlah merupakan pilihan, tetapi suatu keharusan! Dan ukuran kesempurnaan yang harus dicapai adalah kesempurnaan Allah Bapa sendiri! Siapa yang akan bisa memenuhi standard ini? Siapa yang akan mampu mencapainya?
***
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: Mungkinkah Tuhan memerintahkan agar saya melakukan sesuatu yang mustahil untuk saya lakukan? Bukankah dalam Roma 3:23, Tuhan sendiri yang berkata bahwa ”Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah”?
Kalau Ia sudah tahu bahwa saya tidak akan bisa memenuhi standard-Nya, namun Ia masih tetap menuntut saya untuk mencapai standard itu; bukankah itu berarti bahwa Ia adalah Tuhan yang kejam dan sewenang-wenang? Itu sama seperti seorang bapak yang menyuruh anaknya untuk terbang dari atas tebing, padahal ia sudah tahu bahwa anaknya tidak punya sayap.
Firman Tuhan dipenuhi dengan kesaksian bahwa Tuhan adalah Bapa yang mengasihi saya. Begitu besar kasih-Nya, sampai Ia memberikan AnakNya yang Tunggal untuk mati bagi saya (Yohanes 3:16). Mazmur mencatat sifat TUHAN yang penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia (Mazmur 103:8). Jadi, Dia bukanlah Allah yang kejam, melainkan Allah yang penuh belas kasihan kepada anak-anakNya.
***
Kalau Dia bukan Allah yang kejam, lalu mengapa Ia memberikan perintah yang mustahil untuk dijalani itu? Mungkinkah Tuhan hanya ”berbasa-basi” ketika menuntut agar hidup saya sempurna?
Jangan-jangan, Ia sebenarnya tidak memerintahkan saya agar 100% taat, namun hanya dalam rangka untuk memberi motivasi kepada saya agar hidup sungguh-sungguh kepadaNya. Sama seperti seorang boss yang memberikan sedikit ”kata-kata keras” sebagai shock therapy kepada anak buahnya agar tidak sembarangan dalam bekerja.
Tetapi, Alkitab tidak pernah menggambarkan Tuhan sebagai Pribadi yang suka berbasa-basi. Kalau Ia mengatakan sesuatu, memang itulah yang diinginkanNya. Kalau Tuhan berkata ”Ya” maka itu berarti ”Ya”, dan kalau Ia berkata ”Tidak”, maka itu artinya ”Tidak” (Matius 5:37).
Ia tidak pernah menarik kata-kataNya, Ia tidak pernah mengingkari apa yang sudah diucapkanNya sendiri: ”Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta; bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal. Masakan Ia berfirman dan tidak melakukannya, atau berbicara dan tidak menepatinya?” (Bilangan 23:19).
Jadi, kalau Ia mengharuskan agar saya hidup sempurna, maka itu berarti memang Ia sungguh-sungguh menuntut saya untuk sempurna.
***
Di satu sisi, Tuhan menuntut agar saya hidup sempurna. Di sisi lain, saya tahu bahwa saya takkan pernah sanggup memenuhi tuntutan itu. 18 tahun saya mengenal Tuhan, dan berjuang setengah mati untuk hidup sesuai Firman Tuhan. Namun tetap saja saya tidak pernah bisa mencapai standard itu! Lalu saya harus bagaimana lagi?
Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik … Sebab bukan apa yang kukehendaki, yaitu yang baik yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat … Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” (Roma 7:18,19,24)
Perjalanan hidup Kristen saya itu seperti seorang yang melangkah mendekati sebuah cermin. Cermin itu adalah Firman Tuhan. Ketika saya masih berdiri jauh dari cermin itu, maka tubuh saya terlihat sempurna. Namun, semakin saya mendekati cermin itu, semakin jelas terlihat cacat dan kekurangan di dalam tubuh saya.
Semakin lama saya mengenal Tuhan, semakin dalam saya mempelajari FirmanNya, semakin banyak yang saya ketahui tentang kebenaranNya; semakin sedih saya melihat hidup saya sendiri. Tahun demi tahun berlalu di dalam perjalanan saya bersama Tuhan. Saya justru semakin banyak menemukan kelemahan, kegagalan, keburukan, dan cacat di dalam karakter saya.
***
Christian life is not a difficult life, but it is an impossible life! Saya 100% menyadari hal itu. Saya adalah saksi hidup bagaimana mustahilnya standar Allah itu dicapai. Tetapi, apakah itu berarti saya harus menyerah?
Saya tidak bisa menyerah. Karena Tuhan memerintahkan saya agar mencapai kehidupan seperti yang diinginiNya. Kalau saya menyerah, berarti saya memutuskan untuk tidak hidup sesuai keinginanNya.
Saya tidak boleh menyerah. Namun, bagaimana caranya?
Views: 8