“Maka berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi umat-Mu yang sangat besar ini?” (1 Raja-raja 3:9)
Mintalah Apa Saja!
Dalam Kisah 1001 Malam, ada sebuah dongeng tentang Aladdin; seorang pemuda gelandangan yang menemukan sebuah lampu tua. Ketika lampu itu digosok untuk dibersihkan, keluarlah jin yang mampu memberikan apa saja yang diminta. Namun, Aladdin hanya boleh mengajukan tiga permintaan.
Dari dongeng itu, kita tahu apa yang pertama kali diminta oleh Aladdin: kekayaan. Dan dengan kekayaan itu kemudian ia bisa menikah dengan seorang putri cantik—yang semula tidak akan pernah bisa dikenalnya ketika ia masih miskin. Aladdin berpikir bahwa persoalan utama hidupnya adalah kemiskinan; maka ketika ia diberi hak memilih cara untuk mengubah nasibnya, kekayaanlah yang menjadi pilihan utama dan satu-satunya.
Sebuah kisah lain—ini bukan dongeng, tapi kisah nyata—dicatat dalam kitab 1 Raja-raja 3:1-15. Raja Salomo mewarisi sebuah kerajaan yang besar dari ayahnya. Tidak hanya ia mewarisi kekuasaan, kekayaan, kejayaan, dan kemuliaan; namun ia harus melanjutkan pemerintahan Raja Daud—seorang raja dengan track record yang tak tertandingi.
Semua orang mengenal kisah perjalanan Raja Daud, sejak ia menjadi gembala di Betlehem, keberaniannya saat mengalahkan raksasa Goliat, prestasi militernya ketika menjadi panglima Raja Saul, sampai kejayaannya sebagai raja Israel yang kedua. Namun, yang lebih menggetarkan adalah: Daud direkomendasikan oleh Allah sendiri sebagai seorang yang berkenan di hati-Nya (Kisah Rasul 13:22). Dapatkah Anda membayangkan betapa gamang dan groginya Salomo ketika ia harus menapakkan kakinya melanjutkan jejak-jejak yang sudah dibuat oleh ayahnya?
Di tengah suasana batin seperti itu, sebuah kesempatan emas terbuka di hadapan Salomo. Pada malam hari setelah upacara ibadah besar-besaran di Gibeon, Allah menampakkan diri-Nya kepada Salomo dalam sebuah mimpi dan mengucapkan kalimat yang diharapkan oleh setiap orang: “Mintalah apa yang hendak Kuberikan kepadamu.” (1 Raja-raja 3:5). Dan berbeda dari Aladdin, Salomo menjawab: saya meminta hikmat!
Pilihan Terbaik
Sangat menarik apa yang diucapkan Salomo sebagai jawaban! Ia tidak meminta kekayaan; padahal kekayaan berarti kemakmuran dan kesejahteraan bagi kerajaannya. Prestasi seorang pemimpin biasanya dinilai dari kemampuannya untuk membawa kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Salomo juga tidak meminta kemenangan atas musuh-musuhnya; padahal pada masa itu, kejayaan seorang pemimpin diukur dengan prestasi militer untuk mengalahkan musuh dan melebarkan wilayah jajahan. Ia juga tidak meminta umur panjang; sebuah keinginan yang dimiliki seorang raja—untuk bisa terus menikmati hidup dan berkuasa; melihat keturunannya jaya selamanya.
Salomo tahu bahwa tiga hal itu diperlukan bagi kelangsungan pemerintahanya; ia juga tahu bahwa perkara-perkara itu adalah yang diingini semua orang. Namun Salomo sadar bahwa ada yang lebih penting daripada semuanya, yaitu: “hati yang hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat” (1 Raja-raja 3:9).
Allah berkenan dengan jawaban Salomo! Sebab, di mata Allah, memang itulah hal yang paling penting di dalam hidup seseorang: kemampuan untuk mengenal apa yang benar menurut standar Allah, dan hidup berdasar standar kebenaran itu! Dalam Alkitab, kemampuan itu sering disebut sebagai hikmat. Hikmat adalah kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang jahat. Salomo mendefinisikannya sebagai “pengertian tentang takut akan TUHAN dan mendapat pengenalan akan Allah” (Amsal 2:5); atau dalam bahasa Rasul Paulus, kemampuan untuk “membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Roma 12:2).
Hikmat tidak identik dengan tingkat pendidikan, keluasan wawasan, maupun usia atau pengalaman seseorang. Bukankah kita sering menemui orang dengan pendidikan tinggi, pengalaman luas, maupun usia lanjut namun tidak mampu membedakan apa yang benar sesuai kehendak Allah?
Hikmat jauh lebih penting dari segalanya, sebab itulah modal utama (atau satu-satunya) untuk hidup berkenan di hadapan Allah. Seperti rekomendasi Allah tentang Daud: “Aku telah mendapat Daud bin Isai, seorang yang berkenan di hati-Ku dan yang melakukan segala kehendak-Ku” (Kisah 13:22). Kehidupan yang berkenan kepada Allah ukurannya adalah: apakah seseorang hidup benar sesuai dengan kehendak Allah.
Salomo kemudian menulis sebagian besar dari kitab Amsal; yang isi utamanya adalah mengenai pentingnya hikmat bagi hidup seseorang. Hikmat jauh lebih berharga dari permata, bahkan lebih berharga dari apapun yang diinginkan oleh manusia (Amsal 3:13-15). Di dalam Amsal, hikmat selalu dikontraskan dengan kebebalan, yaitu kondisi di mana seseorang tidak mengenal jalan yang benar dan hanya hidup menuruti keinginan dan hawa nafsunya sendiri.
Tuhan Yesus menyatakan bahwa hikmat—yang dibahasakan-Nya dengan istilah “Kerajaan Allah dan kebenarannya”—itu lebih penting untuk dikejar daripada kebutuhan sehari-hari; sebab semua kebutuhan kita akan ditambahkan oleh Allah ketika kita mencari hikmat-Nya. Salomo sendiri akhirnya juga dikaruniai kekayaan, kejayaan, dan umur panjang sebagai penghargaan Allah oleh karena Salomo telah memilih yang terbaik (1 Raja-raja 3:11-14).
Mengejar Harta Terpendam
Hikmat diperlukan oleh semua orang. Setiap saat, di dalam konteks kehidupan kita masing-masing, kita dihadapkan dengan keputusan dan pilihan yang harus kita ambil. Dan hanya dengan pertolongan hikmat kita bisa mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan kehendak Allah. Dengan pimpinan hikmat sajalah kita dapat menjatuhkan pilihan yang sesuai dengan standar kebenaran Allah.
Baiklah kita mengambil ilustrasi dari aspek profesi atau pekerjaan. Tidak semua bidang pekerjaan atau profesi memerlukan pendidikan yang tertinggi, namun semua profesi pasti memerlukan hikmat. Seorang buruh pabrik, misalnya, tidak memerlukan pendidikan tingkat S-2 atau doktoral untuk melakukan pekerjaannya. Namun, ia mutlak membutuhkan hikmat untuk bekerja dengan benar, berkualitas, dan jujur, serta harmonis dalam berinteraksi dengan kawan sekerjanya. Di sisi lain, seorang dosen perlu meraih pendidikan tertinggi, namun bukan titel akademisnya itu yang menjamin ia bisa menjadi dosen yang baik dan berintegritas; melainkan hikmat dari atas!
Di awal tahun 2011 ini, kita kembali diingatkan betapa kita memerlukan hikmat itu. Sebagian besar dari kita, di awal tahun, akan membuat perencanaan dan menentukan target-target yang ingin diraih serta perbaikan-perbaikan hidup yang ingin kita lakukan. Hikmat Allah kita perlukan, tidak hanya untuk membuat perencanaan, namun terlebih lagi untuk menjalani kehidupan kita. Agar di akhir tahun nanti, bukan penyesalan yang kita gemakan di dalam batin kita.
Beberapa orang di antara kita sedang memulai sebuah perjalanan hidup yang baru. Ada yang akan menikah dalam waktu dekat, ada yang baru saja menikah, dan ada yang bersiap untuk mengasuh anak pertama mereka. Hikmat Illahi mutlak diperlukan di dalam menempuh perjalanan itu: agar standar kebenaran Allah yang mewarnai setiap keputusan dan perilaku dalam hubungan suami-istri maupun orangtua-anak.
Salomo mencatat bahwa, memperoleh hikmat itu adalah sesuatu yang harus diinginkan dengan sungguh-sungguh. Kerinduan mendapatkan hikmat ia umpamakan sebagai keinginan besar seseorang yang “mencarinya seperti mencari perak, dan mengejarnya seperti mengejar harta terpendam” (Amsal 2:4). Ketika orang bersungguh-sungguh merindukan hikmat, maka ia akan mendapatkannya. Pertanyaannya kemudian adalah: bagaimana kita memperoleh hikmat itu?
Cara pertama untuk memperoleh hikmat adalah dengan memintanya kepada Allah. “Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian” kata Salomo dalam Amsal 2:6. Rasul Yakobus mendorong orang yang kekurangan hikmat untuk memintanya kepada Allah (Yakobus 1:5). Salomo meminta hati yang berhikmat untuk memerintah bangsanya, dan Allah berkenan dengan permintaan itu.
Kedua, persekutuan yang terus-menerus dengan firman Allah. Prinsip-prinsip kebenaran Allah yang menjadi pedoman bagi hikmat sudah tercatat di dalam Alkitab. Semua tulisan dalam Alkitab ini diilhamkan oleh Allah, tulis Paulus kepada Timotius (2 Timotius 3:16), dan bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran. Bukankah manfaat dari firman Tuhan itu sama dengan pengertian dari hikmat? Tuhan Yesus memuji Maria yang telah memilih “bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya”, yaitu duduk diam di kaki Tuhan dan mendengarkan firman-Nya (Lukas 10:42).
Melawan pengaruh dunia adalah cara ketiga untuk menumbuhkan hikmat dalam diri kita. Kemampuan untuk membedakan apa yang baik, berkenan kepada Allah, dan sempurna itu diperoleh ketika orang tidak “menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan akal budimu” (Roma 12:2). Hikmat Allah yang kita terima tidak akan bertumbuh dan berkembang ketika kita membiarkan diri terkontaminasi oleh prinsip dan tata nilai dunia.
Salomo melakukan kesalahan ini, ketika ia menikah dengan banyak perempuan yang tidak mengenal Allah, sehinga cara hidup mereka membuat hatinya condong kepada illah-illah lain, darin ia tidak dengan sepenuh hati berpaut kepada Allah (1 Raja-raja 11:3-4). Apa yang kita baca, dengar, tonton, perbincangkan, dan pikirkan setiap hari akan mempengaruhi perkembangan hikmat di dalam hidup kita. Jaga kemurnian pikiran kita dengan disiplin untuk hanya memikirkan hal-hal yang benar, mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, kebajikan, dan yang patut dipuji (Filipi 4:8).
Akhirnya, hikmat itu akan menjadi matang ketika kita mengaplikasikannya di dalam hidup sehari-hari. Tidak ada gunanya mengetahui apa yang benar, namun tidak melakukannya. Orang yang berhikmat atau dewasa secara rohani dipahami sebagai orang yang “mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat” (Ibrani 5:14). Dalam versi Amplified Bible, tertulis “for those whose senses and mental faculties are trained by practice to discriminate and distinguish between what is morally good and noble and what is evil and contrary either to divine or human law.”
Seumpama saat ini Allah menyatakan diri kepada kita, dan bertanya: “Apa yang kauinginkan untuk Kuberikan kepadamu?”, apakah jawab kita? Apakah kita dengan tulus dan segenap hati bisa berkata: “Hikmat. Hanya hikmat yang kuinginkan dariMu.”?
Views: 8