2 Korintus 2:1-11
Salah satu aspek yang tidak akan pernah bisa dihindari dalam kehidupan sebagai orangtua atau pemimpin adalah: menghadapi pelanggaran atau kesalahan. Kesalahan/pelanggaran tidak bisa dibiarkan, diabaikan, apalagi ditutupi, namun harus dihadapi (be confronted) dan diatasi (be dealt with). Mengingatkan, menegur, memarahi, mendisiplin, ataupun menghukum dengan cara yang benar dan menghasilkan perbaikan ternyata bukan perkara gampang.
Pada surat sebelumnya, Paulus menegur jemaat Korintus karena tidak mendisiplin seorang saudara yang melakukan dosa perzinahan dengan istri ayahnya sendiri. Paulus kemudian “hukuman” orang itu dan memerintahkan jemaat untuk melakukan hal yang sama: mengeluarkannya dari persekutuan jemaat dan “menyerahkannya kepada Iblis” supaya orang itu megalami pertobatan dari dosanya (1 Korintus 5).
Jemaat Korintus akhirnya mentaati perintah Paulus, dan menerapkan disiplin gereja atas orang itu. Dan sekarang, di suratnya yang kedua, Paulus menasehati jemaat bagaimana melakukan follow-up kepada orang itu, ketika ternyata kedapatan bahwa orang itu telah menunjukkan pertobatan dari dosanya.
Pertama, nampak sekali bahwa Paulus memiliki hati seorang bapa yang mengasihi jemaat. Ia bukan seorang yang kejam/sadis, yang suka atau menikmati kesempatan untuk menegur, memarahi, atau menghukum orang lain. Namun, ia mengakui bahwa hatinya hancur ketika ia harus melakukan teguran dan disiplin itu (2:4). Ia tahu bahwa disiplin yang diterapkannya membuat jemaat berduka, dan kedukaan jemaat itu menjadi kedukaannya juga.
Kedua, Paulus memerintahkan agar jemaat melakukan langkah-langkah berikutnya untuk memulihkan orang yang sudah bertobat karena disiplin yang sudah dijatuhkan, yaitu: mengampuni, menghibur, dan melakukan afirmasi kasih kepada orang itu. Jemaat ditolong untuk melihat bahwa ketika disiplin yang diterapkan itu berhasil, maka tidak lagi perlu diperpanjang, melainkan harus segera melakukan rehabilitasi.
Ketiga, Paulus mengingatkan jemaat bahwa Iblis bisa memanfaatkan proses pendisiplinan itu untuk menghancurkan hidup orang yang sedang diisiplin dan hidup jemaat sendiri. Orang yang didisiplin bisa larut di dalam kesedihan dan penyesalan, yang akhirnya membinasakan hidupnya. Jemaat bisa terjebak dalam sikap yang keras dan tanpa ampun–sehingga kehilangan sifat Kristus yang mengasihi, mengampuni, dan penuh kasih karunia.
Views: 7