2 Tesalonika 2:17-20
Karena penganiayaan yang disrtai dengan tindakan kerusuhan dan kekerasan oleh orang-orang Yahudi yang merasa iri, Paulus dan timnya harus meninggalkan kota Tesalonika (Kis. 17:5-10). Dalam kondisi terpisah dari jemaat Tesalonika, Paulus sangat ingin untuk datang menemui jemaat di Tesalonika lagi. Kalau Paulus tiak bisa datang, itu bukan karena ia tidak ingin–sebab ia menyatakan dengan tegas betapa ia sangat merindukan jemaat (ayat 17).
Bukan hanya rindu, tetapi Paulus sudah berkali-kali membuat rencana untuk pergi ke Tesalonika, akan tetapi Iblis mencegah atau menghalangi rencana tersebut. Bagaimana Paulus bisa yakin bahwa Iblislah yang bekerja menghalanginya? Kalau rencana Paulus itu sesuai dengan kehendak Allah, bukankah seharusnya tidak ada yang bisa menghalangi, bahkan Iblis sekalipun? Paulus yakin bahwa ini pekerjaan Iblis untuk menghalangi pekerjaan Allah, akan tetapi Tuhan menginjinkan pekerjaan Iblis itu bisa berjalan–di dalam kemahatahuan dan kedaulatan-Nya, Tuhan mengijinkan (ayat 18).
Paulus kembali meyakinkan jemaat betapa dia sebenarnya sangat ingin untuk berjumpa lagi, sebab jemaat Tesalonika itu sangat penting dan berharga bagi Paulus. Jemaat adalah pengharapan, sukacita, makhkota kemegahan, dan kemuliaan Paulus di hadapan Tuhan (ayat 19-20). Apakah ini hya katakata hiperbolis untuk menyenangkan hati jemaat? Mestinya tidak, sebab Paulus hanya ingin menyenangkan Tuhan dan tidak akan menjilat manusia.
Kalau demikian, memang itulah jmaat di mata Paulus, sebagai milik Allah yang sangat berharga yang dipercayakan kepadanya. Tidak memandang sepele, tidak memandang enteng, tidak menggampangkan; tetapi memandangnya sebagai hal yang sangat penting, yang harus diperjuangkan sekuat tenaga sebagai sesuai yang berharga dan mulia.
Penerapan:
(1) Menyadari bahwa ada halangan-halangan yang memang dikerjakan oleh si Jahat, bukan hanya sekedar masalah biasa. Dan ini berarti memerlukan kuasa Tuhan untuk menghadapinya, tidak bisa hanya dengan pikiran dan kekuatan alami manusia.
(2) Mengakui dosa, karena sikap saya tidak serius dan cenderung menggampangkan tugas atau pekerjaan yang saat ini diberikan oleh Tuhan kepada saya, sehingga saya melakukannya dengan sembarangan.
(3) Mengubah sikap saya: memandang semua hal yang saat ini dipercayakan kepada saya sebagai milik Tuhan yang berharga dan mulia, sehingga saya melakukannya dengan sunguh-sungguh dan dengan semaksimal yang saya bisa dengan pertolongan Tuhan.
Views: 14