Pentingnya Pengendalian Lidah

Yakobus 3:1-13

Yakobus melihat ada banyak di antara anggota jemaat yang ingin menjadi guru (ayat 1). Mengapa banyak orang ingin menjadi guru dan mengajarkan firman Tuhan? Kemungkinan ada banyak orang yang ingin dipandang tinggi oleh orang lain, ingin mendapatkan penghormatan sebagaimana seorang Rabbi. Jadi motivasinya kemungkinan bercampur dengan mencari pujian atau kekaguman orang lain.

Yakobus mengingatkan bahwa seorang guru dituntut (dihakimi) lebih banyak daripada orang lain. Sebagai pengajar orang akan dihakimi menurut ukuran atau kriteria atau standar yang lebih tinggi daripada orang awam. Seorang pengajar dituntut untuk menghidupi pengajarannya, untuk menerapkan apa yang diajarkannya, untuk mengimplementasikan apa yang diketahuinya (ayat 1). Orang harus bertanya sungguh-sungguh: apakah ia sudah menghidupi ajarannya, sehingga ia ingin mengajar orang lain.

Dari sini, Yakobus kemudian mengembangkan kepada pengendalian lidah atau perkataan. Salah satu kesalahan yang pasti dilakukan oleh setiap orang adalah: kesalahan karena perkataan. Pengendalian perkataan adalah disiplin yang paling sulit untuk dilakukan–apalagi dalam konteks masa kini, di mana setiap orang memiliki media untuk membuat dan menyebarkan pikiran atau pendapatnya!

Yakobus secara ekstrem menyatakan “barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya” (ayat 2). Yakobus menekankan betapa pentingnya lidah–sebagai organ untuk berkata-kata: (1) seperti kekang, siapa bisa mengendalikan lidah berarti bisa mengendalikan seluruh hidupnya; (2) seperti kemudi kapal, lidah menentukan arah hidup seseorang–ayat 3-4). Lidah atau perkataan seseorang menentukan nasibnya, karena itu lidah harus dikendalikan.

Yakobus juga mengumpamakan lidah/perkataan sebagai api–yang sekalipun kecil, tapi bisa membakar hutan belantara yang sangat luas. Tidak hanya berdampak pada nasib diri sendiri, perkataan bisa merusak banyak orang. Secara alamiah/manusiasi: perkataan itu adalah api yang sumbernya dari neraka! Bahkan dikatakan bahwa lidah manusia itu penuh dengan racun. Betapa besar dampak buruk dari perkataan yang tak terkendali (ayat 5-8).

Kejahatan lidah yang tak terkendali juga nampak dari ambivalen dan kontradiksi yang ada di dalam perkataan manusia: dengan lidah yang sama seseoang memuji Tuhan dan mengutuk manusia; dari mulut yang sama keluar kebajikan dan kejahatan. Kemunafikan dan standar ganda mewarnai perkataan orang (ayat 9-12). Dan ini adalah situasi yang tidak bisa diterima di dalam Kerajaan Allah. Yakobus dengan tegas mengatakan: “Hal ini … tidak boleh terjadi” (ayat 10). Sebab, orang percaya sudah diubah hatinya menjadi sumber kebenaran, mata air yang murni–bagaimana mungkin seorang percaya memiliki lidah yang tak terkendali?

Penerapan:
(1) Mengakui bahwa saya tidak bisa mengendalikan lidah atau perkataan saya–saya selalu ingin berkomentar, saya selalu ingin menyatakan apa saja yang muncul di dalam pikiran saya. Karena itu saya memohon kemurahan Tuhan agar diberi kuasa untuk mengendalikan perkataan saya.
(2) Mengakui bahwa dorongan atau keinginan untuk tampil di depan, untuk mengajarkan firman Tuhan, mengucapkan “perkataan Tuhan” itu begitu kuat dalam hati saya–dan saya mengakui motifnya adalah: ingin dikagumi/dihargai/diakui oleh orang lain. Itu menjadi sumber kepuasan psikologis saya. Memon pertolongan Tuhan untuk memurnikan hati saya.

Views: 33

This entry was posted in Perjanjian Baru, Saat Teduh, Yakobus. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *