Hakim-hakim 1:1-6
Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri (ayat 6). Kalimat ini–yang nantai akan diulang beberapa kali–merupakan kesimpulan kondisi umat TUHAN yang mengalami kemerosotan hidup. Kemerosotan spiritualitas yang diikuti atau disertai dengan kemerosotan moralitas, menghasilkan kehidupan yang kacau dan tidak sesuai dengan kehendak TUHAN; tidak hanya di level individu, tetapi di level umat/bangsa.
Ada seorang Efraim bernama Mikha. Suatu kali ibunya kehilangan uang 1.100 perak karena dicuri orang maka ibunya mengeluarkan kutukan atas pencuri itu. Tapi kemudian Mikha mengaku bahwa dialah yang mencuri uang ibunya. Mengetahui bahwa Mikha yang mencuri, ibunya mencabut kutuk yang telah diucapkan dan menggantinya dengan berkat: “Diberkatilah kiranya anakku oleh TUHAN” (ayat 1-2).
Mikha mengembalikan uang yang dicurinya kepada ibunya, tapi ibunya berkata bahwa ia mau “menguduskan uang itu bagi TUHAN” (ayat 3). Sebuah sikap yang kelihatannya saleh dan mulia; tapi caranya adalah: menyerahkan uang itu kepada Mikha untuk dibuat patung pahatan dan tuangan. Ini mencerminkan kemerosotan hidup beribadah–bagaimana mungkin mempersembahkan hara kepada TUHAN tapi diwujudkan dalam bentuk patung–yang jelas-jelas dilarang dalam Hukum TUHAN? Kesesatan, beribadah mengikuti keinginan sendiri, bukan mentaati perintah TUHAN.
Kemudian, ternyata hanya 200 perak yang digunakan untuk membuat patung pahatan dan tuangan–padahal sebelumnya ibu itu berkomitmen untuk memberikan seluruh uang perak sejumlah 1.100 (ayat 4). Kemerosotan moralitas, karena dengan enteng ibu itu mengkingkari komitmen/janji yang dibuatnya di hadapan TUHAN. Ketamakan akan uang membuat dia tidak memenuhi komitmennya. Mirip dengan apa yang dilakukan oleh Ananias dan Safira (Kis. 5). Petrus menyatakan bahwa tindakan seperti itu adalah: “mendustai Roh Kudus … mendustai Allah” (Kis. 5:3-4).
Mikha menerima patung perak dari ibunya, lalu menempatkannya di kuil di rumahnya. Kemudian Mikha membuat pakaian imam (efod dan terafim), dan mentahbiskan salah seorang anak laki-lakinya untuk menjadi imam bagi patung itu (ayat 5). Beribadah dengan caranya sendiri, menurut keinginannya sendiri. Menyembah berhala dan sembarangan mentahbiskan imam–padahal aturan ibadah kepada TUHAN itu telah ditetapkan di dalam Hukum TUHAN melalui Musa.
Penerapan:
(1) Sembahlah Tuhan dan beribadahlah kepada Tuhan dengan sikap dan cara yang dikehendaki-Nya. Jangan membuat cara sendiri yang tidak sesuai dengan ketetapan Tuhan di dalam firman-Nya.
(2) Perempuan itu mungkin menjadi contoh orang yang sesat karena menyembah dengan caranya sendiri, dan itu menghasilkan cara berpikir dan tata nilai yang menyimpang, dan akhirnya menghasilkan cara hidup yang menyimpang dari kebenaran Tuhan.
Views: 42