Berbelas Kasihan di Tengah Penderitaan

Lukas 23:27-31

Hati Tuhan Yesus yang penuh belas kasihan tidak berubah, sekalipun Ia sedang menanggung penderitaan fisik dan mental yang paling menyakitkan. Sejumlah besar orang mengikuti perjalanan Tuhan Yesus ke Golgota. Di antara orang-orang itu, ada banyak perempuan yang menangisi dan meratapi Dia (ayat 27). Ini adalah respons yang menunjukkan simpati kepada Tuhan Yesus di tengah kebencian, penghinaan, hujatan, dan kutukan kepada-Nya oleh mayoritas orang.

Di tengah penderitaan-Nya, Tuhan Yesus justru menunjukkan belas kasihan kepada para perempuan yang menangisi kondisi-Nya. Ia berpaling memandang mereka dan berkata agar mereka tidak menangisi Dia, tetapi agar mereka menangisi diri mereka sendiri dan anak-anak mereka (ayat 28). Alasannya: akan datang masa kesulitan dan penderitaan besar yang menimpa mereka dan anak-anak mereka.

Begitu besarnya masa sulit itu dan betapa ngeri nasib mereka di masa depan, sehingga mereka akan berkata lebih baik kalau anak-anak mereka tidak pernah dilahirkan ketimbang ditimpa malapetaka itu (ayat 29). Begitu berat masa penderitaan yang akan datang, sehingga orang akan memilih untuk mati saja ketimbang menanggung penderitaan itu (ayat 30). Sejarah mencatat bahwa dalam semua peristiwa malapetaka, perempuan dan anak-anak selalu menjadi korban yang paling menderita.

Ini adalah nubuat Tuhan Yesus yang spesifik mengenai nasib bangsa Yahudi, terutama mengenai kota dan penduduk Yerusalem. Sebelumnya, ketika Tuhan Yesus akan memasuki Yerusalem untuk terakhir kalinya, Ia memandang kota itu dan menangisinya–karena Ia telah melihat kehancuran kota dan kebinasaan penduduknya sebagai akibat penolakan mereka kepada anugerah Allah (Luk. 19:41-44).

Di bagian akhir nubuat-Nya, Tuhan Yesus menyatakan perumpamaan tentang perlakuan kepada kayu hidup (hijau) dan kayu kering (ayat 31). Wiersbe memparafrasekan perumpamaan itu dengan: “If the Roman authorities do this to One who is innocent, what will they do to you who are guilty? When the day of judgment arrives, can there be any escape for you?” Ungkapan yang menyatakan bahwa kehancuran itu tak terhindarkan dan pasti akan datang.

Di dalam penderitaan-Nya, Tuhan Yesus tidak fokus kepada nasib-Nya sendiri, tidak mengasihani diri-Nya sendiri, tidak masuk dalam kemarahan/kepahitan, dan tidak menuntut orang lain agar bersimpati dan memberikan dukungan atau pertolongan kepada diri-Nya. Ia justru berbelas kasihan kepada orang lain karena: (1) hati-Nya penuh dengan belas kasihan; (2) Ia tahu mengapa Ia harus menderita, dan Ia ada di dalam penyerahan penuh kepada kehendak Allah Bapa; dan (3) Ia tahu betapa ngeri sebenarnya kondisi/situasi orang lain itu di luar Tuhan.

Penerapan:
(1) Belajar untuk menanggung situasi yang sulit atau penderitaan bersama Tuhan–bergantung kepada Tuhan, berseru kepada-Nya, berserah kepada kehendak-Nya; tidak menuntut orang lain untuk bersimpati atau memahami situasi yang harus saya jalani.
(2) Meminta hati yang tunduk dan tidak pahit di dalam masa sulit, tetapi meminta hati yang bisa berbelas kasihan kepada orang lain–sekalipun saya sendiri sedang dalam kondisi yang tidak nyaman atau menderita.

Views: 10

This entry was posted in Lukas, Perjanjian Baru, Saat Teduh. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *