Lukas 17:11-19
Tuhan Yesus memiliki hati yang penuh dengan belas kasihan, sehingga Ia mau untuk menolong 10 orang yang sakit kusta ini. Ada frasa yang digunakan dalam bagian ini: “Lalu Ia memandang mereka… (when He saw them)” (ayat 14)–kata “memandang/melihat” yang dipakai adalah eido yang berkonotasi tidak hanya menangkap dengan indra penglihatan, tetapi melihat/mengetahui dengan pemahaman; the actual of perception. Tuhan Yesus memahami tidak hanya apa yang nampak di luar–sakit kusta, tetapi juga semua kondisi batin yang mereka tanggung.
Kuasa Tuhan Yesus tak terbatas. Dalam kasus 10 orang kusta ini, Ia tidak melakukan tindakan apa-apa; bahkan dicatat bahwa posisi mereka agak jauh dari tempat Yesus berada, sehingga mereka harus berteriak minta belas kasihan-Nya (ayat 12-13). Tuhan Yesus hanya berkata memerintahkan mereka pergi memperlihatkan diri kepada imam-imam. Dalam aturan agama Yahudi, seorang yang sudah sembuh dari sakit kusta harus datang kepada seorang imam untuk diperiksa dan mendapat verifikasi bahwa ia benar-benar sudah sembuh (Ima. 14:2-3).
Sepuluh orang itu memiliki iman kepada Tuhan Yesus, karena sekalipun mereka saat itu belum sembuh, mereka taat untuk pergi untuk menemui para imam–yakin bahwa pada waktu mereka bertemu imam, mereka akan sudah sembuh. Iman mereka terbukti: “sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir (And as they were going–sedang berjalan–the were cleansed” (ayat 14). Tidak diketahui apakah ke-10 orang itu punya iman yang sama kuatnya, atau ada yang hanya ikut-ikutan temannya, atau ada yang berpikir ikuti saja, toh dia sudah “nothing to lose“. Apapun “kualitas” iman mereka, ke-10 orang itu mengalami kesembuhan dari Tuhan.
Tetapi, salah satu dari mereka, ketika sadar bahwa dia sudah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya (ayat 15-16). Hati yang spontan penuh dengan ucapan terima kasih atas pertolongan Tuhan. Ia berteriak ketika minta pertolongan, dan sekarang ia memuliakan Allah dengan suara nyaring–betapa berbeda dengan 9 orang lainnya: berseru-seru ketika dalam masalah, namun ketika ditolong, tidak bersuara sama sekali.
Satu orang yang kembali itu adalah seorang Samaria (ayat 16)–bangsa yang dipandang rendah oleh orang Yahudi karena dianggap sebagai bangsa yang tidak murni umat Tuhan, bangsa yang kafir. Bahkan Tuhan Yesus sendiri menyebut orang itu sebagai “orang asing ini” (ayat 18), allogenes: one of another nation, a stranger, foreigner. Melihat fenomena itu, Tuhan Yesus berkata: “Tidak adakah di antara mereka [yang sembilan orang] kembali untuk memuliakan Allah?” (ayat 18).
Sembilan orang kusta itu menjadi potret orang yang tidak tahu terima kasih, tidak tahu diri. Benar mereka punya iman yang ditunjukkan dengan ketaatan; benar mereka melakukan prosedur sesuai hukum Taurat; tetapi mereka merasa bahwa itu sudah semestinya mereka terima–take it for granted; sudah sewajarnya; bukan sesuatu anugerah yang sangat besar, sehingga mereka tidak memuliakan Allah dan berterima kasih kepada Tuhan Yesus.
Penerapan:
(1) Mengakui saya memiliki hati yang tidak tahu terima kasih, yang tidak ditakjubkan oleh anugerah dan belas kasihan dan berkat Tuhan–bersikap seolah itu adalah perkara yang biasa, sehingga sikap dan tindakan saya tidak mencerminkan hati uang memuliakan dan bersyukur kepada Tuhan.
(2) Memohon Tuhan menolong menumbuhkan hati yang tahu diri dan tahu berterima kasih, sehingga bisa menghargai anugerah dan kebaikan Tuhan kepada saya.
(3) Membangun waktu untuk memuji dan menyembah Tuhan–dengan disiplin mengingat kembali anugerah dan kemurahan yang telah Tuhan lakukan kepada saya.
Views: 7