Perilaku yang Mencerminkan Umat TUHAN

Ulangan 14:1-21

TUHAN memberikan ketetapan terkait tindakan ritual/kebiasaan ketika ada orang yang mati, dan ketetapan terkait apa yang boleh dimakan oleh umat TUHAN. Keduanya menjadi tanda sebagai umat TUHAN, yang membedakan mereka dari bangsa-bangsa lain. “sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN Allahmu” (ayat 2,21); “dan engkau telah dipilih TUHAN untuk menjadi umat kesayangan-Nya dari antara segala bangsa di atas muka bumi” (ayat 2).

Pertama, dilarang menoreh-noreh tubuh atau menggundul rambut karena kematian seseorang (ayat 1). Mengapa? Menoreh tubuh dan menggundul kepala merupakan kebiasaan bangsa-bangsa yang tidak mengenal TUHAN ketika terjadi kematian (ritual for the dead). Ritual itu tidak hanya ekspresi kedukaan, tetapi juga tindakan semacam “persembahan” untuk orang yang sudah mati. Ada frasa: “for the dead” atau “for the sake of the dead“(NASB). Juga, tindakan melukai tubuh dilakukan sebagai ritual penyembah Baal untuk menarik perhatian illah itu (1 Raja-raja 18:28).

Dalam prinsip TUHAN, orang yang sudah mati sudah tidak berhubungan lagi dengan mereka yang masih hidup. Tidak ada satupun yang bisa dilakukan seseorang untuk orang yang sudah mati, dan tidak ada sesuatupun yang bisa dilakukan orang yang sudah mati kepada mereka yang masih hidup. Ritual yang didasari pemikiran “melakukan/memberikan sesuatu” untuk orang mati jelas bertentangan dengan prinsip TUHAN.

Apalagi pemikiran yang meyakini bahwa ritual itu bertujuan untuk membujuk illah-illah atau roh-roh yang terkait dengan kematian, agar tidak melakukan sesuatu yang jahat/melukai kepada arwah orang yang sudah mati, maupun kepada mereka yang masih hidup. Ini bertentangan dengan prinsip TUHAN: hanya kepada TUHAN umat-Nya harus menyembah dan beribadah.

Kedua, dilarang memakan sesuatu yang merupakan kekejian bagi TUHAN, yaitu: (1) binatang tertentu yang diharamkan TUHAN–ayat 4-20; (2) bangkai binatang apapun, yang mati bukan karena dibunuh untuk dikonsumsi, tetapi mati karena sakit atau karena kecelakaan–ayat 21; (3) daging anak binatang yang dimasak dalam air susu induknya sendiri–ayat 21.

Mengapa ada binatang yang diharamkan untuk dimakan oleh umat TUHAN (ayat 4-20)? Apakah karena pertimbangan kesehatan atau keamanan? Apakah karena binatang-binatang itu dipakai dalam ritual penyembahan berhala? Kalau melihat apa yang ditulis di bagian ini, maka alasannya adalah: karena umat TUHAN itu adalah kelompok yang dikuduskan (dikhususkan) menjadi milik kesayangan, berbeda dari bangsa-bangsa lain. Alasannya adalah untuk membedakan umat TUHAN dari bangsa-bangsa yang lain.

Tidak hanya jenis binatangnya, tetapi juga kondisi binatang dan cara mengolah binatang itu. Sekalipun termasuk binatang yang tidak diharamkan, tetapi apabila binatang itu merupakan bangkai, maka tidak boleh dikonsumsi oleh umat TUHAN (ayat 21). Demikian pula ketika cara mengolah binatang itu mengandung kekejaman dan kekejian–misalnya: memasak anak domba di dalam air susu induknya sendiri (ayat 21). Itu bentuk kekejian/kekejaman yang bertentangan dengan sifat TUHAN.

Bagi umat TUHAN, masalah makan atau minum atau yang terkait dengan reproduksi–itu bukan semata-mata masalah aktivitas kehidupan, tetapi perilaku umat TUHAN harus mencerminkan sifat/karakter TUHAN. Tidak sembarangan, tidak asal mengikuti dorongan insting manusia, tidak tanpa pengendalian diri, tidak sesuka hati dan sewenang-wenang. Umat TUHAN berada di bawah orotitas TUHAN yang berhak mengatur dan mengendalikan.

Kasus di Taman Eden bukan masalah jenis buahnya, tetapi masalah: apakah manusia mau untuk berada di bawah otoritas TUHAN, ataukah manusia ingin independen dari TUHAN, ingin menyamai TUHAN, ingin berkuasa dan bisa berbuat sesuka hati mereka sendiri. Ini bukan soal makan atau minum, tetapi soal penundukkan diri di bawah otoritas TUHAN.

Penerapan:
Paulus menuliskan: “Makanan tidak membawa kita lebih dekat kepada Allah. Kita tidak rugi apa-apa, kalau tidak kita makan dan kita tidak untung apa-apa, kalau kita makan.” (1 Korintus 8:8). Bukan soal apa yang dimakan, tapi soal ketaatan kepada Tuhan, dan soal mencerminkan sifat Tuhan melalui perilaku orang percaya.
Apa yang akan terrepresentasikan melalui apa dan cara saya makan? Ketamakan, rakus, tidak peduli orang lain, mengejar nafsu badaniah? Ataukah pengendalian diri, kasih, kepedulian, dan kepantasan?

Views: 9

This entry was posted in Perjanjian Lama, Refleksi, Ulangan. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *