Pagi ini, pulang dari membeli sarapan, Wening pingsan di jalan. Jelas menimbulkan kepanikan dan beban pikiran bagi kami, terutama Rut. Saya tahu, di dalam benaknya sudah tergambar berbagai skenario dan kekuatiran tentang kondisi Wening. Setelah diperiksa dokter, memang tekanan darahnya sangat rendah. Hasil cek darah tidak menunjukkan kelainan apapun. Seorang teman yang dokter spesialis penyakit dalam menduga itu disebabkan karena kurang aktivitas.
Satu hal yang saya tekankan di dalam pikiran saya sendiri: Tuhan itu baik, Tuhan itu sangat mengasihi kami; Ia tidak pernah memiliki rancangan jahat atas kami, semua rancangan dan tindakan-Nya adalah untuk kebaikan kami dan untuk kemuliaan-Nya. Sekalipun kami sulit mengerti atau menerima kejadian yang diijinkan-Nya untuk kami alami, namun yang jelas tujuan akhirnya dalah kebaikan kami dan kemuliaan-Nya.
Petang hari, kami berdoa bersama untuk Wening. Sekali lagi keyakinan dan pengharapan kepada Tuhan yang mengasihi kami itu kami nyatakan, untuk memperkuat penyerahan dan iman kami kepada-Nya. Juga kami memohon belas kasihan Tuhan agar Ia menjamah dan memulihkan tubuh Wening; pun meminta perlindungan dari setiap bentuk serangan si jahat kepada Wening dan kepada kami semua.
Selama sehari ini, dengan latar belakang peristiwa itu, saya tidak merasa kuatir atau cemas. Padahal, seharusnya saya cemas! Atau seharusnya saya tidak cemas? Yang jelas, saya tidak bisa membuat diri saya untuk cemas atau kuatir. Salahkan perasaan seperti ini, ketika kondisi anak memang sedang tidak normal?
Daud tidak merasa kuatir, dan ia bisa dengan damai membaringkan tubuhnya dan terlelap, sekalipun puluhan ribu orang siap untuk mengepung dirinya, “… sebab TUHAN menopang aku!” (Mazmur 3:6). Daud sadar akan bahaya yang ada di sekitarnya, bahwan ia telah berseru kepada Tuhan untuk menolong dan melindunginya. Ketenangan Daud bukan karena ignorance kepada bahaya yang menghadang, tetapi karena kepercayaan dan penyerahan kepada Tuhan, Sang Perisai Pelindungnya.
Maria, ketika diberitahu oleh malaikat bahwa ia akan mengandung, berespon “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Lukas 1:38). Penyerahan dan ketenangan yang muncul bukan karena ia tidak aware akan resiko/kemungkinan yang bisa terjadi padanya (hukuman perzinahan: dirajam batu sampai mati), namun karena kesadaran bahwa dirinya adalah hamba Tuhan (yang sewajarnya tunduk pada apapun kehendak Sang Tuan), dan keyakinan bahwa Tuhan akan bertanggung jawab atas hidup yang telah diserahkannya.
Saya tidak yakin, bahwa ketenangan atau ketidakkuatiran saya bersumber dari iman dan penyerahan seperti itu. Sebagian terbesar ketenangan itu adalah palsu, karena berasal dari ketidaktahuan akan resiko/kemungkinan, atau ketidakpedulian saya terhadap apa yang sedang terjadi: menganggap remeh, menggampangkan, menilai tidak penting–tidak care.
Padahal, tidak peduli itu adalah indikasi tidak adanya kasih di dalam diri saya. Kasih selalu menghasilkan kepedulian. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, maka …”. Bagaimana memiliki hati yang care secara tulus? Adakah contoh seseorang yang sama sekali tidak care atas hidupnya atau hidup orang lain? Tuhan, bagaimana menumbuhkan hati yang peduli itu?
Views: 7