Mencegah Kesesatan

Markus 12:18-27

Kelompok Saduki adalah kelompok dalam agama Yahudi yang tidak mempercayai perkara-perkara supranatural: kebangkitan orang mati, penghakiman di akhir zaman, keberadaan malaikat dan dunia roh (Kisah Rasul 23:6-8). Mereka hanya menerima kitab-kitab Musa sebagai firman Tuhan, dan menolak tradisi yang dipegang oleh orang Farisi. Kelompok ini merupakan kelompok bangsawan, di mana anggotanya berasal dari golongan imam dan kelas sosial tinggi. Mereka punya kursi di Sanhedrin, posisi pemerintahan orang Yahudi, dan secara umum mau bekerjasama dengan pemerintah Romawi. Kelompok ini berseberangan dengan orang Farisi, namun mereka juga menyerang Yesus karena dianggap sebagai ancaman.

Mereka datang kepada Yesus memberikan pertanyaan hipotetikal (berandai-andai) untuk mematahkan doktrin kebangkitan orang mati. Mereka pikir, pertanyaan itu cerdik dan sulit (mustahil) untuk dijawab Yesus, dengan demikian bisa dipakai untuk mendeskreditkan Yesus. Tetapi, pertanyaan yang mereka ajukan itu justru membuka fakyta bahwa mereka “…sesat, justru karena kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah” (ayat 24). Yesus menyatakan bahwa cara berpikir orang Saduki itu sesat (planao: salah, menyimpang, tersesat). Dan penyebab kesesatannya ada dua: (1) tidak mengerti Kitab Suci; (2) tidak mengerti kuasa Allah.

Mereka tidak mengerti kuasa Allah, karena berpikir bahwa di dalam kekekalan nanti manusia masih hidup sebagaimana hidup di dunia ini–yang fisikal dan material. Padahal, tidak demikian. Tubuh jasmaniah sudah tidak lagi ada, digantikan oleh Allah dengan tubuh rohani, yang bersifat roh dan kekal seperti para malaikat (ayat 25)–di sini Yesus mengkritik penolakan mereka atas keberadaan malaikat. Malaikat punya kepribadian, punya identitas, tetapi sifat eksistensinya berbeda dengan alam fisik. Tidak ada lagi pernikahan setelah kematian!

Orang saduki tidak mengerti Kitab Suci, khususnya Kitab-kitab Musa (yang mereka terima sebagai Firman Allah). Yesus mengutip bagian kitab Musa yang mencatat penampakan TUHAN kepada Musa di tengah semak yang menyala. TUHAN memperkenalkan Diri-Nya kepada Musa bahwa Ia adalah (menggunakan present tense, bukan past tense) Allah Abraham, Ishak dan Yakub–tokoh-tokoh yang sudah meninggal. Secara tidak langsung, TUHAN menyatakan bahwa para leluhur itu masih hidup, sekalipun secara manusia/fisik sudah meninggal: “Ia bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup” (ayat 27). Yesus menegaskan bahwa ketika orang meninggal secara fisik, ia sebenarnya masih tetap hidup, dalam eksistensi yang berbeda–yang pada akhir zaman nanti akan dinyatakan oleh Allah di sorga.

Orang Saduki ini memperlajari Kitab Suci, dan mereka adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang Kitab Suci–mengingat banyak dari antara mereka yang berasal dari kelompok imam. Tetapi Yesus mengatakan bahwa mereka tidak mengerti/paham (eido: melihat, memahami). Saya memerlukan pengertian yang benar mengenai Firman Tuhan supaya saya tidak tersesat. Pengertian yang benar itu hanya bisa diperoleh dari pertolongan Roh Kudus yang “akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.” (Yohanes 14:26).

Orang Saduki mengaku bahwa mereka ber-Tuhan, mengakui dan menyembah Tuhan, tetapi mereka menolak kuasa Tuhan, menolak perkara-perkara yang supranatural. Orang Saduki membatasi kuasa Tuhan dengan tidak mau percaya bahwa Tuhan berkuasa untuk melakukan perkara-perkara yang tidak natural. Yesus menggunakan kata “kuasa” (dunamis: kuasa, kekuatan, kemampuan untuk melakukan (mencapai) sesuatu. Saya tidak boleh membatasi Tuhan dengan berpikir bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh Tuhan. Tetapi kepercayaan kepada kuasa Tuhan ini harus ditundukkan kepada kebenaran Firman Tuhan.

Penerapan:
Berdoa untuk hati yang terbuka dan memahami kebenaran Firman Tuhan dan kenyataan kuasa Tuhan. Terus meminta Roh Kudus menolong memahami Firman Tuhan dan tidak bersikap membatasi kuasa Tuhan untuk melakukan segala perkara, termasuk perkara-perkara yang mustahil bagi manusia.

Views: 10

This entry was posted in Markus, Perjanjian Baru, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *