Markus 10:17-27
Ada seorang yang menurut ukuran dunia sudah lengkap dan sempurna hidupnya: muda (Matius 19:20), sangat kaya (ayat 22), punya kedudukan sebagai pemimpin (Lukas 18:18), dan hidup sungguh-sungguh mentaati hukum Tuhan (ayat 20). Tetapi, ia ragu apakah ia telah memiliki hidup yang kekal. Sekalipun ia sudah memiliki semua yang bisa dicapai di dalam hidup ini, ia merasa tidak pasti dengan masa depannya di dalam kekekalan. Karena itu ia bertanya kepada Yesus apa yang harus dilakukannya untuk mendapatkan hidup kekal (ayat 17).
Orang muda ini tulus di dalam pencariannya. Ia menunjukkan kesungguhan dengan mengejar Yesus ketika Ia mulai meninggalkan rumah di mana Ia memberkati anak-anak kecil. Ia menunjukkan kerendahan hati dan penghargaannya kepada Yesus dengan bersujud di hadapan-Nya dan memanggil Yesus: “Guru yang baik” (ayat 17). Dan Yesus–yang mengetahui sikap hati seseorang–melihat ketulusan hatinya, sehingga Yesus ketika memandangnya, muncul kasih kepada anak muda itu (ayat 21).
Yesus menjawab dengan menyebut beberapa hukum Tuhan, yaitu hukum Tuhan yang terkait dengan relasi antar manusia: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, janganbersaksi dusta, jangan mengingini, dan hormati orangtua (ayat 19). Anak muda itu menjawab bahwa semua hukum Tuhan itu sudah dilakukannya sejak ia masih muda (ayat 20). Kemungkinan pertama, pada titik ini ia mengharapkan Yesus berkata “Tidak ada lagi yang perlu kamu lakukan. Kamu memiliki hidup kekal karena sudah melakukan itu semua”–memberikan afirmasi/kepastian kepadanya. Kemungkinan kedua, hatinya masih ragu, dan berharap Yesus memberitahu perbuatan apa yang masih kurang/belum dilakukannya.
Yesus memandang orang itu dan mengasihinya. Yesus tahu bahwa orang ini memiliki konsep yang salah tentang hidup kekal: berpikir bahwa hidup kekal adalah hasil usaha manusia, masalah perilaku/tindakan–bukan masalah penyelamatan hati manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa dan ada di bawah kuasa dosa. Yesus berkata: “Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” (ayat 21). Ini adalah perintah yang menyingkapkan/menunjukkan ada persoalan mendasar di dalam hidup orang itu.
Dan benar, orang yang selama ini merasa sudah melakukan semua yang harus dilakukan, ternyata memiliki hati yang terikat kepada harta duniawi. Mendengar jawaban Yesus, ia menjadi kecewa atau sedih (stugnazo: to be somber, gloomy–seperti langit yang semula cerah menjadi gelap karena akan ada badai datang). Ia yang semula begitu antusias mengejar Yesus, sekarang menjadi muram karena ia tidak bisa melepaskan diri dari ikatan dengan hartanya yang banyak itu. Dan, kesalahannya yang terbesar adalah: ia pergi meninggalkan Yesus (ayat 22).
Melihat anak muda itu pergi meninggalkan-Nya, Yesus memandang berkeliling (seolah memastikan bahwa semua orang di situ menyaksikan apa yang terjadi), dan berkata kepada para murid: “Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah.” (ayat 23). Melihat keheranan murid-murid, Yesus memberi penekanan pada pernyataan-Nya: “Anak-anak-Ku, alangkah sukarnya masuk ke dalam Kerajaan Allah. Lebih mudah seekor unta melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.” (ayat 24-25).
Murid-murid makin bingung (gempar, sangat heran), karena kepercayaan/keyakinan yang berlaku adalah: kekayaan/kesejahteraan merupakan indikator atau bukti seseorang itu benar di hadapan Tuhan, sehingga ia diberkati oleh Tuhan. Tetapi Yesus justru mengatakan bahwa orang kaya sangat sukar masuk Kerajaan Allah–lebih sukar daripada seekor unta melewati lubang jarum (ayat 25)! Kekayaan menjadi salah satu penghalang utama seseorang untuk menerima hidup kekal.
Ketika murid-murid saling berkomentar atas pernyataan Yesus itu, mereka bertanya-tanya lalu siapa yang bisa diselamatkan–kalau keselamatan itu sukar sekali bahkan mustahil untuk didapatkan, sambil memandang murid-murid, Yesus berkata kepada mereka: “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah.” (ayat 27). Itulah kuncinya: keselamatan itu mustahil bisa diperoleh dengan usaha manusia, tetapi keselamatan itu merupakan pekerjaan Allah! Itu yang tidak dipahami oleh orang muda tadi, ia mengira perbuatan/usaha manusia yang akan menghasilkan hidup kekal, padahal hidup kekal itu pekerjaan Allah, dan manusia hanya bisa menerimanya sebagai anugerah melalui iman (Efesus 2:8-9).
Views: 7