Sikap Ketika Datang Kepada Tuhan

Markus 7:24-30

Yesus pergi ke daerah Tirus, masuk ke dalam sebuah rumah, dan tidak mau ada orang yang mengetahuinya. Yesus sedang ingin menyendiri, mungkin ingin beristirahat dari segala kesibukan pelayanan, mungkin ingin memiliki waktu berbicara sendiri dengan murid-murid-Nya. Tetapi, kedatatangan-Nya tidak dapat dirahasiakan.

Seorang perempuan datang kepada-Nya memohon agar Yesus melepaskan anak perempuannya yang sangat menderita karena kerasukan setan. Dalam catatan Markus, ditulis perempuan itu seorang Yunani, bangsa Siro-Fenisia; sedangkan Matius 15:22 menyebutnya sebagai perempuan Kanaan. Perempuan itu termasuk bangsa asing (kafir), bukan bagian umat Tuhan, dan pada waktu itu orang Yahudi menyebut orang asing sebagai “anjing”. Sebutan itu lazim diucapkan, sudah menjadi pengetahuan/istilah umum.

Darimana perempuan itu mengenali Yesus? Darimana dia tahu bahwa Yesus adalah Mesias (Tuhan, Anak Daud) yang bisa menolong anak-Nya? Darimana pun ia mendengar dan mengetahui tentang Yesus, yang jelas ketika ia tahu bahwa Yesus sedang ada di daerah tempatnya tinggal, perempuan itu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk meminta pertolongan Yesus bagi anaknya.

Mula-mula, Yesus sama sekali tidak merespons permohonan perempuan itu. Dalam Matius 15:23, dicatat komentar murid-murid bahwa perempuan itu mengikuti Yesus dengan berteriak-teriak. Mengapa berteriak? Karena perempuan itu tidak berani mendekat–orang kafir, perempuan lagi–tidak akan berani mendekat kepada sekumpulan laki-laki Yahudi. Hanya itu yang bisa dilakukannya: mengikuti dari jauh dan berteriak-teriak memohon belas kasihan–tidak ada rasa malu, tidak ada rasa sungkan, tidak peduli dilihat orang. Demi mendapatkan pertolongan bagi anak-Nya.

Ketika Yesus menjawab permintaan murid-Nya agar Ia menyuruh perempuan itu pergi–dengan mengatakan bahwa Ia hanya datang untuk melayani umat Tuhan (Matius 15:24)–perempuan itu menangkap bahwa ada pintu terbuka baginya–maka ia datang mendekat, bersujud menyembahnya dan memohon pertolongan Yesus.

Yesus berkata kepada perempuan itu: tidak layak untuk memberikan pertolongan kepada orang asing, sementara umat Tuhan sendiri belum semuanya menerima pertolongan-Nya. Yesus memakai perumpamaan yang menggambarkan umat Tuhan sebagai anak-anak, sedangkan perempuan itu sebagai anjing–sebutan orang Yahudi untuk bangsa asing atau kafir.

Perempuan itu menjawab: “Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak.” (ayat 28). Respons Yesus: “Karena kata-katamu itu, pergilah sekarang sebab setan itu sudah keluar dari anakmu.” (ayat 29). Apa makna jawaban perempuan itu, sehingga menjadi alasan/dasar bagi Yesus untuk memberikan pertolongan kepadanya? Dalam Matius, Yesus memuji “Hai ibu, besar imanmu” (15:28). Jawaban perempuan itu mencerminkan besar imannya.

Pertama, perempuan itu mengamini perkataan Yesus bahwa ia–sebagai orang asing, yang disamakan dengan anjing–tidak layak untuk menerima pertolongan-Nya. Ia mengakui bahwa dirinya dan anaknya tidak punya hak atau modal apapun yang melayakkannya untuk ditolong. Ia hanya mengharap kepada belas kasihan, kasih karunia Yesus. Kesadaran bahwa ia tidak layak.

Kedua, ia sadar bahwa ia tidak layak untuk menerima kasih/pertolongan yang penuh, yang “menjadi hak” bagi umat Tuhan. Karena itu, ia hanya berharap kepada belas kasihan Yesus untuk menerima “remah-remah”–sisa-sisa kasih karunia yang tidak dipakai oleh umat Tuhan. Ia tidak meminta diperlakukan sama dengan umat Tuhan, ia menerima sisa-sisanya saja. Sekalipun hanya diberi remah-remahpun, itu sudah cukup. Tidak menuntut, tetapi menerima seberapapun belas kasihan yang akan diberikan oleh Tuhan.

Penerapan:
Bagaimana sikap saya ketika datang meminta pertolongan Tuhan? Dengan sikap menuntut, karena merasa layak, merasa sudah taat, merasa sudah memenuhi syarat, merasa sudah melakukan banyak hal bagi Tuhan, merasa sudah banyak berkorban bagi Tuhan–sehingga harus mendapatkan jawaban sesuai dengan apa yang saya minta?
Tuhan, merikanlah kepada saya iman seperti perempuan Kanaan itu: yang melihat betapa saya tidak layak untuk menerima pertolonganmu, yang hanya berharap dan bersandar kepada anugerah dan belas kasihanmu semata.

Views: 5

This entry was posted in Markus, Perjanjian Baru, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *