Ibadah GKKK Surakarta – Minggu 23 April 2023
Yakobus 3:13-18
Apakah kamu merasa dirimu adalah seorang yang berhikmat/bijaksana? Hikmat sejati, yang dari sorga, punya ciri-ciri tertentu: murni, suka damai, tenggang rasa, sikap penundukan diri, penuh kemurahan, adil, dan tulus. Orang yang memiliki hikmat Illahi ini akan mendatangkan perdamaian dan kebenaran.
Sebaliknya, “hikmat”–jadi sebenarnya bukan hikmat yang sejati, yang bersifat duniawi, tidak rohani, dan demonic–dari roh jahat, punya ciri-ciri: kepahitan, iri hati, penuh ambisi yang egois, sombong/meninggikan diri, dan berdusta melawan kebenaran. Orang yang memiliki “hikmat” jenis ini akan mendatangkan perpecahan, kekacauan, dan segala perbuatan yang jahat.
“Hikmat” yang selama ini saya jalankan ternyata bukan hikmat Illahi, sebab ketika saya menggunakan “hikmat” itu untuk bicara atau berpendapat, di sana ciri-ciri keduniawian/ketidakrohanian itu muncul terlihat: (1) kesombongan: mencela, mengejek, mengolok-olok, merendahkan orang lain, menonjolkan kebaikan diri sendiri; (2) menantang/melawan otoritas, tidak ada penundukan diri dan rasa hormat; (3) nada suara tinggi, yang tidak enak didengar; (4) menyerang/membalas, sulit terbuka kepada pendapat orang lain; dan (5) berusaha menekan/mengalahkan orang lain agar menerima/menyetujio pendapat saya.
Lalu, apa indikator bahwa hikmat Illahi itu beroperasi di dalam hidup saya? Bagaimana saya tahu bahwa hal itu telah terjadi?
(1) Mengakui di hadapan Tuhan kalau selama ini saya hidup dengan hikmat yang bukan dari Tuhan
(2) Meminta Tuhan memberikan hikmat Illahi itu kepada saya
(3) Tidak berpendapat kalau memang tidak diminta
(4) Memberi apresiasi kepada orang lain, mencari aspek positif dari orang lain dan memuji/mengucap terima kasih
(5) Sebisa mungkin tidak menggunakan kata “saya”, tidak usah menyebut kelebihan atau prestasi/kebaikan
(6) Menyampaikan usul/pendapat saja tanpa disertai kritik/menyalahkan atau menyebut kelemahan orang lain.
Views: 7