Pemimpin yang Buruk (2): Menyesatkan Orang Lain

Matius 23:13-22

Tuhan Yesus mengkritik orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat pada zaman itu: posisi mereka sebagai pengajar Hukum Tuhan–yang digambarkan dengan “menduduki kursi Musa” (Matius 23:2), seharusnya mereka menjadi terang bagi untuk Tuhan untuk mengenal Tuhan dan untuk masuk ke dalam Kerajaan Tuhan. Tetapi kenyataannya, mereka justru menghalangi orang (ayat 13), bahkan membuat orang hidupnya jadi lebih buruk karena pengajaran mereka (ayat 15).

Dalam kedudukan mereka sebagai pengajar Hukum Tuhan, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat diibaratkan sebagai pemegang kunci pintu masuk Kerajaan Sorga. Dalam beberapa referensi ditulis bahwa pada zaman kuno, para rabbi (pengajar) Yahudi membawa sebuah kunci, sebagai lambang pengetahuan (Clarke, 1810). Oleh karena mereka–para pemegang kucni itu–tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang Kerajaan Sorga, sehingga mereka sendiri tidak masuk ke dalamnya; mereka juga menjadi rintangan bagi mereka yang berusaha masuk ke dalam Kerajaan Sorga (ayat 13).

Betapa kritis sebenarnya posisi sebagai seorang pengajar–sehingga Yakobus sampai memberi peringatan agar jangan banyak di antara umat Tuhan yang mau menjadi guru (Yakobus 3:1-2). Sebagai seorang guru/pengajar, setiap perkataan/pengajaran yang dikeluarkan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi murid/pendengar. Kalau pengajarannya keliru, maka akan bisa menyesatkan orang lain–sementara pengajaran itu bersumber dari keyakinan sang pengajar. Keyakinan yang keliru menghasilkan pengajaran yang keliru, dan pada gilirannya menghalangi orang masuk ke dalam Kerajaan Allah.

Penerapan
Mengajar orang lain adalah perkara yang sangat serius, karena bisa ikut menentukan hidup orang lain. Karena itu say harus sunguh-sungguh dalam mempersiapkan materi pengajaran yang akan saya sampaikan. Say asendiri harus memiliki pengetahuan yang benar, memiliki keyakinan berdasar pengetahuan itu, dan sudah mempraktekkan hidup yang konsisten dengan pengajaran itu sendiri.

Views: 6

This entry was posted in Matius, Perjanjian Baru, Refleksi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *