Dibenarkan Seperti Abraham

Roma 4:1-25

Paulus mengambil Abraham–leluhur bangsa Yahudi–sebagai contoh orang yang dibenarkan karena iman, dan bukan karena perbuatan. “Lalu percayalah Abraham kepada Tuhan, dan Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” (ayat 3). Abraham tidak melakukan perbuatan ketaatan, tetapi ia percaya kepada Tuhan; dan kepercayaannya diperhitungkan Tuhan sebagai kebenaran. Iman Abraham diperhitungkan sebagai kebenaran. Ini tidak didasarkan kepada tindakan/pekerjaan Abraham, tetapi dari responsnya kepada janji Allah. Tindakannya kemudian merupakan konfirmasi dari imannya (Utley, 2014).

Dalam ayat 6-8, Paulus mengutip Mazmur Daud yang menyatakan hal yang sama (Maz 32:1-2), yaitu Tuhan memberkati orang yang dibenarkanNya, yaitu orang yang tidak diperhitungkan pelanggarannya oleh Tuhan. Orang itu berdosa, melakukan pelanggaran, tetapi Tuhan tidak memperhitungkan pelanggaran itu. Berkat Tuhan tidak ditentukan oleh perbuatan orang, tetapi oleh kemurahan kasih karuniaNya.

Mengomentari bagian ini, Warren Wiersbe menyatakan: Daud menyatakan dua hal yang luar biasa, yaitu (1) Tuhan mengampuni dosa dan membenarkan kita bukan karena pekerjaan/ketaatan orang itu; (2) Tuhan tidak memperhitungkan dosa-dosa kita. Dengan kata lain, catatan hidup kita di hadapan Tuhan berisi kebenaran Kristus yang sempurna, dan tidak akan lagi berisi catatan dosa-dosa kita. Orang percaya masih bisa jatuh dalam dosa, dan ketika itu terjadi, harus ada pemberesan di hadapan Tuhan; tetapi dosa-dosa itu tidak lagi diperhitungkan oleh Tuhan. Tuhan mencatat setiap pekerjaan baik kita, untuk memberi upah kepada kita ketika Tuhan Yesus datang kembali; tetapi Tuhan tidak lagi mencatata dosa-dosa kita (Wiersbe, 2007).

Paulus kembali membahas Abraham: Abraham dibenarkan oleh Tuhan sebelum ia disunat; bukan sunat yang membuat Abraham dibenarkan, tetapi sunat menjadi tanda/meterai pembenaran Tuhan atas Abraham. Ini menjadi dasar prinsip bahwa pembenaran Tuhan juga berlaku atas orang yang tidak bersunat, sebab Abraham sendiri dibenarkan sebelum ia disunat (ayat 9-15).

Contoh berikutnya dari iman Abraham adalah ketika ia memegang janji Tuhan bahwa ia akan menurunkan banyak bangsa, sementara secara alamiah sudah tidak mungkin bagi dirinya maupun istrinya untuk mempunyai anak. Tuhan membawa Abraham kepada titik di mana sudah tidak ada lagi cara yang bisa dilakukan, kecuali hanya tinggal percaya kepada janji Tuhan. Dan Abraham tidak goyah dalam imannya, tetapi tetap percaya bahwa Allah berkuasa melakukan apa yang telah Ia janjikan (ayat 16-22).

Prinsip pembenaran Allah karena iman tidak hanya berlaku untuk Abraham, tetapi untuk semua orang: “sebab kepada kitapun Allah memperhitungkannya, karena kita percaya kepada Dia, yang telah membangkitkan Yesus, Tuhan kita, dari antara orang mati, yaitu Yesus, yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita.” (ayat 23-25).

Bagaimana respons kita menerima kebenaran ini? Pertama, memuji Tuhan dan beryukur kepada Tuhan untuk anugerah pembenaran yang kita terima di dalam Kristus. Kedua, kita tidak perlu dilemahkan oleh dakwaan atas dosa/pelanggaran yang kita lakukan, karena Tuhan tidak mencatat dosa-dosa itu. Kita tetap harus datang memohon pengampunan ketika jatuh dalam dosa,  agar relasi dengan Tuhan kita pulih, dan tidak ada penghalang bagi Tuhan untuk bekerja atas hidup kita. Ketiga,  berjuang untuk hidup kudus dan tidak jatuh di dalam dosa bukan untuk menjaga status/kedudukan saya di hadapan Tuhan, tetapi agar kita memelihara relasi dengan Tuhan, agar tidak mengalami kesesakan dan penderitaan yang tidak perlu, agar efektivitas melakukan pekerjaan baik yang disiapkan Tuhan; dan agar hidup kita menjadi kesaksian baik dan berkat bagi orang lain.

Views: 7

This entry was posted in Perjanjian Baru, Refleksi, Roma. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *