Persembahan Ternak Sulung

Ulangan 15:19-23

Ketetapan TUHAN mengenai ternak sulung jantan diberikan untuk mengajar umat TUHAN mengingat karya penebusan TUHAN dari perbudakan Mesir. Di mana TUHAN membunuh semua anak sulung Mesir, baik anak manusia maupun anak hewan/ternak; tetapi meluputkan anak sulung Israel, baik anak manusia maupun anak hewan/ternak (Keluaran 13:11-15). Semua bentuk persembahan kepada TUHAN mengandung makna–lambang apa yang telah dikerjakan TUHAN untuk umat-Nya.

Semua ternak sulung jantan harus dikhususkan bagi TUHAN, tetapi syaratnya: ternak itu tidak boleh ada cacat. Ternak yang dikhususkan itu tidak boleh dipakai untuk bekerja, maupun untuk dicukur bulunya, tapi hanya dikhususkan untuk dipersembahkan kepada TUHAN. Setahun sekali, umat TUHAN membawa persembahan sulung ini ke tempat yang ditetapkan TUHAN, dan memakannya dalam ibadah di hadapan TUHAN (ayat 19-20). Selain untuk dimakan dalam ibadah di hadapan TUHAN, persembahan sulung ini juga diberikan kepada para imam sebagai bagian untuk mendukung kehidupan mereka (Bilangan 18:15-18).

Apabila ternak sulung it ternyata cacat, misalnya lumpuh, buta, dan sebagainya, maka tidak boleh dipersembahkan untuk TUHAN (ayat 21)–ini adalah simbol tuntutan kekudusan yang sempurna dari TUHAN. Karena kekudusan-Nya, TUHAN hanya bisa menerima korban yang sempurna juga; maka hanya Yesus, Manusia sempurna tanpa dosa, yang diterima menjadi Korban Penebus Dosa manusia.

Ternak sulung yang cacat itu boleh dikonsumsi di rumah umat TUHAN, sebagaimana mereka mengkonsumsi hewan buruan, seperti kijang atau rusa (ayat 22). Ketika tidak memenuhi syarat untuk ritual ibadah, maka ternak sulung itu menjadi ternak biasa. Sekali lagi TUHAN mengingatkan agar umat-Nya tidak mengkonsumsi darah dari ternak atau hewan, melainkan harus dicurahkan ke tanah (ayat 23).

Penerapan:
Setia memberikan persembahan sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Tuhan, sebagai bentuk pengakuan akan pekerjaan Tuhan, sebagai bentuk ucapan syukur atas kemurahan Tuhan.

Views: 7

This entry was posted in Perjanjian Lama, Refleksi, Ulangan. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *